Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari April, 2013

Aku dan Ibuku Pada Suatu Hari

“aku ingat betul. Pernah Kau kecup keningku disaat pagi. Meluruskan kerah bajuku yang lusuh. Menjahit kantong bajuku yang koyak tanpa kutahu. Ajariku hingga mampu berdiri tegak. Hingga mampu berjalan tegap. Lalu, kau minta aku pergi kejar cita hingga sampai di ujung samudera. Hingga aku melangkah kian jauh. Berderap hingga peluh. Tapi Kau tak pernah ingatkanku untuk berhenti. Tak pernah beritahuku sampai kapan mesti berlari. bahkan tak pernah tunjukanku jalan kembali. Padahal, ini pertama kalinya aku ingin pulang.......”  Pada suatu hari, aku menangis untuk pertamakalinya. Lalu ibuku memberiku nama Syubhan Triyatna. Siapapun tidak tahu apa arti dari kata Syubhan, bahkan ibuku sendiri. Mungkin Ibuku ingin agar aku sendirilah yang memberi arti pada nama itu. Tentang triyatna, Tri artinya 3, aku adalah anak ke 3. Kalau Yatna diambil dari nama tetangga. Tapi jangan buruk sangka dulu. Itu karena tetanggaku dulu adalah orang paling terpandang sekampung: Bapak Yayat SupriYATNA. Beliau ad

Seniman Dakwah

“ada orang-orang yang bergerak tanpa ruh. Sama banyaknya dengan ruh-ruh yang tidak bergerak”           Berawal dari pertanyaan yang tiba-tiba hadir  dalam  acara  renungan, brain storming , muhasabah atau apapun namanya. Biasanya dalam acara-acara itu digunakan backsound –untuk mendramatisir acara- yang biasanya dari instrumen-instrumen berjudul Koi, Silk Road, Sozo , atau matsuri. Instrumen-instrumen itu malah kadang lebih menyentuh dari pada renungannya. Sebenarnya siapa seniman yang bisa membuat musik begitu menyentuh itu? Inilah yang coba saya telusuri. Dan didapatlah nama seorang seniman Jepang nyentrik berambut panjang: Kitaro.         Mungkin hadir juga tanda tanya mengapa instrumen-instrumennya begitu meresap sampai hati yang mendengarnya . sebelum melangkah lebih jauh, Ada baiknya kita simak terlebih dahulu bagaimana jeniusnya seniman ini dalam membentuk instrumen yang begitu menyentuh.

Mata Air Kepemimpinan

“Kedudukan pemimpin dalam dakwah”, kata Hasan Al Banna, “adalah sebagai ayah dalam kaitan ikatan hati, sebagai guru dalam kaitan mengajarkan ilmu yang bermanfaat, sebagai syaikh dalam kaitan pendidikan ruhani, dan sebagai pemimpin dalam mengendalikan kebijakan umum.”          Seingat saya,   saat saya LDKO (latihan dasar kepemimpinan OSIS) dulu dan masih berseragam putih abu dijelaskan oleh seorang kakak kelas bahwa pemimpin adalah orang yang mampu mempengaruhi orang lain untuk bergerak mencapai tujuan bersama. Intinya, pemimpin adalah pengaruh. Tidak ada kepemimpinan tanpa adanya pengaruh. Saat ini, saya baru sadar bahwa ada kesalahan dalam definisi itu. Tepatnya dalam kata pengaruh. Disitu tidak disebutkan pengaruh itu arahnya kemana: Langit atau jurang. Itulah ilmu barat. Selalu munculkan syubhat. Maka lahirlah kepemimpinan ala Hitler yang bantai jutaan jiwa, Muncullah Stalin yang sengsarakan rakyatnya sendiri dengan konsep yang di bawanya: komunisme.