Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari 2014

Macet di Jalan Dakwah

Beberapa waktu lalu, bersama kawan-kawan rencannya akan pergi rihlah ke suatu tempat di Bogor. Dari dramaga kami menyewa 2 angkot jurusan Ciampea-laladon. Sesampai di jalan sebelum pertigaan arah ke BTM tiba-tiba angkot yang kami tumpangi berhenti. Sama halnya dengan kendaraan-kendaraan lainnya. Tapi berhentinya benar-benar berhenti dan tidak bergerak. Tidak biasanya macet seperti ini, kata Pak sopir. Selama hampir 30 menit hanya bergerak beberapa depa. Akhirnya kami putuskan untuk berjalan saja sampai di jalan yang tidak terjadi kemacetan. Kami berjalan sampai pertigaan di depan dan ....Ternyata ini dia penyebabnya. Di pertigaan itu mobil dan motor tidak bisa bergerak maju apalagi mundur. “Terkunci”. Dari sebelah utara motor mengambil jatah jalan sebelah kanan, begitu juga dari arah timur dan barat. Jadilah kendaraan disitu tidak bisa maju apalagi mundur. Dan yang terdengar hanyalah klakson-klakson bersahutan dan ocehan para pengendaranya. “Ini gara-gara motornya kebanyakan pak”

Mahasiswa Bedebah (1)

Mahasiswa. Mereka adalah orang-orang yang beruntung. Atau punya kesempatan lebih banyak untuk menjadi beruntung. Masih ingatkah tentang politik etis Kompeni dulu? itu adalah kesalahan paling bodoh yang dilakukan penjajah Belanda. Penjajah itu memang licik, saat mereka kekurangan orang untuk mengendalikan Bumi jajahannya, mereka hendak menyekolahkan orang-orang Pribumi dengan maksud suatu hari setelah mereka lulus, mereka bisa dipekerjakan untuk menjadi boneka di Indonesia. menjadi petinggi-petinggi pemerintahan namun masih dalam kendali penjajah.  Namun itulah kesalahan mereka. Tujuan mereka ternyata sama sekali tidak terwujud. Justru yang terjadi adalah sebaliknya, para pelajar itu justru menyerang penjajah. Menuntut kemerdekaan! Sjahrir, hatta, Soekarno adalah sekelompok kecil dari contoh-contoh itu. Mereka melawan arus. Tongkat yang diberi oleh tuan penjajah dengan maksud untuk "mengembala" tanah jajahan justru dipakai untuk menghantam si tuan. Merekalah pelajar-p

Aku Bosan Baca Qur’an!

Entah mengapa seringkali aku begitu emosional. Sehingga nalar kadang tak pernah dipertimbangkan. Begitupun saat kubuka Buku itu: Al Qur’an, untuk yang sekian kalinya. Bahkan akupun lupa sudah berapa kali aku menghatamkannya. Atau belum sama sekali jangan-jangan. Ramadhan-ramadhan kulalui bersamanya dengan bahagia tanpa kutahu kitab apa sebenarnya yang ku baca. Apakah ia buku sains, sejarah, atau kitab hukum. Entahlah. Semuanya mengalir begitu saja. Semenjak dulu di surau dengan nyala lampu redup aku membacanya penuh syahdu sekaligus rindu akan terulangnya kembali waktu itu. Barangkali itu adalah episode terbaik dalam serial hidupku. Kubaca ayat demi ayat tanpa mengerti betul apa yang aku baca selama ini. Tanpa faham benar seberapa dahsyat ayat-ayat itu. Aku hanya membacanya bak rutinitas. Hingga aku sampai pada satu sore dimana aku merasa ada yang aneh dengan perasaanku saat menyentuhnya. Perasaan yang sama sekali berbeda dengan saat-saat sebelumnya. Aku tak tahu harus

Merindu Seseorang

Pernahkah kau merindukan seseorang? yang bahkan kau sendiri belum pernah berjumpa dengannya? Hanya sering mendengar disebut namanya? Aku pernah. . . Pernahkah kau mencintai seseorang? yang bahkan kau sendiri belum sempat bertatap muka? Hanya kisahnya yang pernah kau baca? Aku Pernah. . . Padamu . . . Yang selalu kusebut dalam tahhiyyat di ujung sholatku, meski kadang hati ini lalai. . . Mungkin, atau bisa dikatakan pasti, rinduku padamu tidak sedalam rindu Ash Siddiq saat di ujung nafasnya, di pembaringannya, di depan sahabat-sahabatnya yang penuh khawatir padanya, sempat mengatakan dengan mata berurai air mata, "Umar, Aku merindukan Rasullullah...." Mungkin cintaku tidak sebesar cinta Thalhah saat dengan tersenyum menjadikan tubuhnya sebagai tameng hidup, membiarkan raaganya di tusuk tombak, di tebas pedang, dihujam panah di bukit uhud demi untuk melindungimu. . . Tapi izinkanlah aku merindukanmu saat tidak adalagi yang tersisa selain rindu ya

Industri Pahlawan

Kita berhenti sejenak dari perdebatan retoris tentang apakah pahlawan itu diciptakan atau dilahirkan? Tentang apakah pahlawan itu sudah mempunyai “garis tangan” seorang pahlawan atau menggores sendiri “garis tangan” itu?   Kita juga harus berhenti berdebat tentang definisi pahlawan. Apakah pahlawan adalah mereka yang dikubur di taman makam pahlawan? Atau, apakah pahlawan adalah, seperti lilin, rela mengorbankan dirinya demi menerangi sekitar? Kita harus berhenti dari perdebatan definitif semacam ini. Kita memang tidak butuh definisi. Ditengah badai yang tak henti porandakkan negeri ini. Di tengah topan yang robek layar bahtera bangsa ini. Kita kadang dengan polos berharap akan hadirnya seorang nahkoda yang dengan secepat kilat mengeluarkan kita dari kepungan badai ini. Kita berharap dengan begitu polos akan turunnya pahlawan dari langit untuk selesaikan krisis multidimensi yang gerogoti bangsa ini. Seperti superman yang penuh keajaiban selesaikan perkara tanpa susah payah.

Antara Sekolah dan Realitas

gambar dari republika.co.id Entah siapa yang bilang bahwa Ibu adalah madrasah pertama seorang manusia. Ada benarnya kalau Ibu disini bukanlah Ibu Karir jaman sekarang. Juga kalau seorang Ibu benar-benar faham metode mendidik anak yang benar. Pernyataan tadi juga benar jika dikaji dari sudut pandang sejarah. Bahwa Ibu adalah institusi pendidikan pertama yang didirikan sebelum kampus-kampus yang sekarang menjamur ini.