Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari Juli, 2017

10 Tipologi Kader

1. Kader Super (ga pake man). Ia biasanya memiliki tsaqofah diatas rata-rata. Hafalannya membludak. Bisa jadi liqo sejak dalam kandungan. Cocok untuk jadi pengisi dauroh. Selalu bisa diandalkan untuk menjadi qiyadah. Namun karena sangat superiornya biasanya ia merasa pendapatnya lebih baik dari keputusan syuro. Ia merasa punya peran besar dalam jamaah, meski memang faktanya demikian. Kader seperti ini rawan konflik. Contohnya seperti yang terjadi akhir-akhir ini. "Batman" VS "Superman" 2. Kader Buffer. Adalah larutan atau zat penyangga dalam ilmu kimia. Kader ini penengah yang baik. Kata-katanya menyejukkan di tengah konflik. Kader semacam ini tidak terlalu punya ambisi memimpin. Biasanya mereka orang-orang loyal yang berkepribadian plegmatis atau steadiness dalam konsep DISC. 3. Kader Baper. Mutung adalah pekerjaannya sehari-hari. Selalu merasa inferior. Terlalu peka. Biasanya mereka adalah orang-orang melankolis. Sering merasa kerjanya tidak dihargai. Padahal

Back To Nature

Kalau ada yang masih menganggap Sayyid Qutbh adalah nenek moyang para teroris, bapak radikalisme. Mereka salah besar! Yang ada justru sebaliknya. Dr. Shalah Al Khalidy dalam tesisnya berjudul “Sayyid Qutbh dan Representasi Artistik dalam Al Qur’an” pada bagian pertama tesis tersebut menceritakan penelitiannya tentang biografi Sayyid. Menjelaskan bahwa Sayyid menentang keras jalan dakwah yang menggunakan jalur kekerasan. “Itu adalah jalan terakhir, bukan yang utama”, katanya. Lalu mengapa Sayyid sampai dihukum mati yang konon katanya karena berencana menggulingkan rezim Gamal Abdun Nasser? Semua gara-gara satu nama: Ali Asymawi! Pasca revolusi juli 1952, Ikhwanul Muslimin (IM) dibubarkan oleh pemerintah. Hasan Al hudaibi selaku Mursyid Amm dibatasi dan diawasi geraknya. Lalu muncullah inisiatif dari Abdul Fattah Ismail untuk menyatukan kembali jamaah ikhwan yang terserak. Ia lalu berhasil mereorganisasi sisa-sisa aktivis IM. Ditunjuklah kemudian 5 pemimpin wilayah yang bertanggun

Apalah Arti sebuah Toga

5 kali setahun. Selalu di hari rabu. Sebakda dzuhur aku selalu senang berjalan diantara penjual bunga. Aku juga tak penuh mengerti mengapa dihari ini tetiba banyak yang saling memberi bunga. Dan wajah-wajah itu selalu lebih merekah dari bunga-bunga yang dijajakan. Aku berkeliling mengitari gedung itu. Memperhatikan setiap raut orang tua yang penuh bangga akan anaknya yang kini telah bertoga. Kuamati satu-satu. Sambil sesekali mel empar senyum dan selamat pada beberapa rekan lalu berfoto. Tapi aku tidak terlalu suka berfoto, bagiku kamera yang terbaik adalah mata, dan memori terbaik adalah hati. Aku tahu senyumnya tak selepas biasanya. Bunga-bunga yang digenggamnya hanyalah untuk menutupi kegundahan dibalik baju wisudanya. Kebingungan mulai menyergap. Toga adalah pintu air antara kolam dan samudera. Ia mulai ketakutan akan dunia sedetik setelah ia lepas toganya. Setelah setidaknya 16 tahun ia tekun belajar di bawah atap sekolah. Sekarang ia mulai bimbang kemana ia harus melangka

Dakwah No Jutsu

Bukan rasenggan yang menjadi jurus Terhebat Naruto. Bukan Sage Mode. Bukan Kagebunshin no jutsu. Bukan kuchiose no jutsu. Bukan pula chakra kyubi yang tersegel di perutnya. Tetapi, seperti kata gurunya, Hatake Kakashi, Naruto punya kekuatan yang aneh yang bisa merubah orang lain. Seperti kata kawannya, si jenius Shikamaru Naraa: aku tak tahu itu apa, tetapi saat didekatnya ia membuatku ingin mengikutinya. Gaara menjadi menyadari arti kesepi an saat bertemu dengan Naruto. Ia lalu merubah kebencian yang ada di dadanya menjadi keinginan untuk berarti bagi orang lain. Naruto merubah Gaara dengan kata-katanya, bukan semata-mata dengan jurusnya. Naruto, meski dengan proses yang panjang, berhasil menyadarkan sahabat karibnya, Sasuke, akan arti sebuah ikatan. Ia tak pernah menyerah meski awalnya Sasuke amat membencinya. Ia bisa saja membunuh Nagato "Pain". Namun Naruto memilih untuk menekan kebencian dan keinginan balas dendam atas kematian gurunya, Jiraiya, yang dibunuh Naga

Sayonara

*Buat yang telah dan tengah pergi Tibalah jua akhirnya Detik-detik melankolik itu: Saat aku bagai terpaku terpaksa menatap punggungmu yang makin menjauh Aku ingat betul Kala langkah-langkah kecilmu yang ragu Dan senyummu yang kaku Untuk kali pertama kau datang tawarkan jabatmu Kita lalu tumbuh bagai biji-biji Mengecambah disirami tarbiyah Meranting dipupuki dakwah Dan nafas ukhuwah Meniup kuncup kita mekar jadi bunga Meski banyak yang jatuh dipukul hama Kau akan pergi aku tahu Mungkin tak lagi ada temu aku tahu Akupun tak memintamu untuk mengenang setiap inchi Aku hanya mohon tuk terakhir kali: Pabila nanti tak kau temukan aku di nirwana Carilah aku sampai ke palung neraka Mungkin ku disitu Ulur tangan dan senyum kakumu kutunggu Serupa kali pertama kita bertemu

Kiamat sudah dekat

Rocker itu jatuh cinta. Salahnya, hatinya justru jatuh pada Sarah, puteri tunggal haji Romli. Berbekal nekad dan setangkai mawar. Ia maju. Namun selalu saja terhalang sang Ayah. Bunganya itu tak pernah sampai dan selalu berakhir di tempat sampah. Meski dengan sembunyi-sembunyi, Sarah memungut bunga itu dan disimpannya. Penolakan-penolakan itu. Syarat-syarat yang diajukan Haji Romli, perlahan membawanya mendekat pada Islam. Fandi namanya. Meski lalu ia frustasi dan saat senja di tepi dermaga ia mengadu berteriak pada Allah: "Allah, Aku tidak meragukan kekuasaan-Mu Ombak di lautan-Mu yang tenang ini bisa seketika Kau buat menjadi gelombang yang besar dan menenggelamkan segala apapun yang mengapung di atasnya, aku tidak meragukan-Mu Bahkan bila Kau berkehendak . . . Engkau juga bisa membuat matahari terbit dari barat dan tenggelam di timur, tidak ada yang sulit buat-Mu, Allah. Jadi apa susahnya melumerkan hati Haji Romli dan menjodohkan aku dengan Sarah? Please Allah, p

Berat tugas Kita

Ada yang mengeluhkan tentang menurunnya mutu kader. Lalu membandingkannya dengan romantisme mihwar tanzhimi dahulu saat tarbiyah mulai dirintis tahun 80-an. Dauroh penuh. Halaqoh hidup. Militansi tak perlu ditanya lagi. Meski waktu itu tekanan rezim terasa sekali. Kini, kita seolah lupa tarbiyah. Halaqoh hanya rutinitas kering. Dauroh sepi. Meski kader bertambah beberapa kali. Kita berhak pesimis. Tetapi kita punya pilihan lain yang lebih menyenangkan: ini hanya waktu sahur, gelap sesaat sebelum fajar. Sebab saat da'wah meluas memasuki era muassasi, mulai memasuki seluruh lini termasuk eksekutif dan legislatif, kita kaget. Seperti seorang bocah kampung yang baru kali pertama masuk dufan. Ternyata banyak wahana yang mesti kita naiki. Ternyata banyak pos yang harus kita isi. Lalu kita lalai dengan tarbiyah sebab sibuk dengan wahana baru. Kita baru sadar akhir-akhir ini bahwa kita mesti kembali memperkuat basis tarbiyah kita. Menghidupkan kembali ruh halaqoh-halaqoh kita

Pahala-Wan

"Dan pahlawan adalah mereka yang mengundurkan diri untuk dilupakan, sama seperti kita melupakan yang mati untuk revolusi..." -Gie Kita mesti berhenti berdebat tentang pantas atau tidaknya seseorang dianugerahi gelar pahlawan. Juga berhenti membicarakan tentang apakah pahlawan itu dilahirkan atau diciptakan. Sebab ada yang mendesak untuk dilakukan: mencetak pahlawan atau menyiapkan rahim yang mampu melahirkan para pahlawan. Kita telah lama dibuat malu oleh para ibu di Palestina. Mereka berhasil melahirkan sekaligus mencetak ulang para pahlawan yang berani menantang peluru yahudi dengan kerikil, melawan tank israel hanya dengan pisau dapur. Sementara bunda-bunda di nusantara hanya melahirkan lelaki-lelaki pengecut, robot-robot bertoga dan budak-budak berdasi yang hanya tahu cara berebut remah-remah kapitalis. Anak-anak gaza-lah yang pantas kita anugerahi gelar pahlawan. Sebab mereka berjuang-berkorban-terbunuh demi mewakili umat muslim sedunia untuk menjaga tanah wakaf

Menopause Dakwah Kampus

Pernah hadir suatu masa di rentang waktu awal 80-an sampai awal milenia ke-2. Dimana kampus adalah lahan paling subur, pabrik paling produktif menghasilkan produk dakwah: shinobi-shinobi tarbawi yang rela menginfakkan Hidupnya untuk misi islami. Di masa itu, tokoh-tokoh lahir dan dewasa dalam sapihan dakwah kampus. Tetapi, 10 tahun terakhir seperti ada grafik menurun kualitas dan kuantitas kader. Entah apa penyebab pastinya. Namun indikasi yang cukup kuat merujuk pada satu penyebab: gelombang materialisme. Gelombang ini memicu setiap individu untuk memacunya bersaing berebut sumber daya materi. Sehingga, hal ini memaksa kampus untuk memaksimalkan dan menekan mahasiswanya dengan target tertentu. Parahnya, gelombang ini meresap kedalam kesadaran para mahasiswa belia: kita harus segera lulus cepat, ipk tinggi dan segera sambar pekerjaan tersisa. Tidak ada yang salah sebenarnya dari sikap itu. Yang salah adalah ketika kesibukan akademik kita melalaikan aktivitas tarbiyah kita. M