Langsung ke konten utama

Menopause Dakwah Kampus


Pernah hadir suatu masa di rentang waktu awal 80-an sampai awal milenia ke-2. Dimana kampus adalah lahan paling subur, pabrik paling produktif menghasilkan produk dakwah: shinobi-shinobi tarbawi yang rela menginfakkan Hidupnya untuk misi islami.
Di masa itu, tokoh-tokoh lahir dan dewasa dalam sapihan dakwah kampus. Tetapi, 10 tahun terakhir seperti ada grafik menurun kualitas dan kuantitas kader. Entah apa penyebab pastinya. Namun indikasi yang cukup kuat merujuk pada satu penyebab: gelombang materialisme.
Gelombang ini memicu setiap individu untuk memacunya bersaing berebut sumber daya materi. Sehingga, hal ini memaksa kampus untuk memaksimalkan dan menekan mahasiswanya dengan target tertentu. Parahnya, gelombang ini meresap kedalam kesadaran para mahasiswa belia: kita harus segera lulus cepat, ipk tinggi dan segera sambar pekerjaan tersisa.
Tidak ada yang salah sebenarnya dari sikap itu. Yang salah adalah ketika kesibukan akademik kita melalaikan aktivitas tarbiyah kita.
Mari kembali kepada pemahaman tentang struktur hierarki pemikiran kita. Tentang struktur pengetahuan kita. Dalam struktur piramida pemikiran, kata Anis Matta, yang paling dasar adalah pengetahuan tentang identitas diri, kemudian sosial dan terakhir, spesialisasi.
Pengetahuan identitas diri meliputi motif hidup, asal dan tujuan hidup, orientasi hidup. Semua itu terangkum dalam kata islam. Sedangkan pengetahuan tentang sosial adalah tentang bagaimana kita bermuamalah dengan peserta kehidupan yang lain. Sedangkan yang ketiga, spesialisasi adalah pengetahuan tentang keahlian kita yang memang khusus. Pengetahuan tentang spesialisai inilah yang kita pelajari di kampus.
Mayor-Minor
Yang terjadi hari ini adalah kita kebingungan dalam membedakan mana pengetahuan yang mayor dan yang minor. Banyak dari kita yang mendahulukan yang minor dari yang mayor. Banyak kader yang, dengan dalih jihad ilmy atau amanah orang tua, sibuk dengan kegiatan akademik kampusnya dan melalaikan kegiatan tarbiyahnya. Padahal, tarbiyah adalah mayor yang berisi pembinaan identitas diri dan sosial, sedangkan akademik Adalah minor yang mencetak spesialisasi.
Kesalahan kita atau memang tren zaman telah menggoda mahasiswa untuk menyelesaikan yang minor dan menyepelekan mayor. Kita masih bisa hidup hanya dengan mayor meski terseok-seok. Namun jika minor yang kita punya, kita akan menjelma robot-robot bertoga.
Saya tidak bermaksud untuk membenturkan kegiatan tarbiyah dan akademik. Karena memang akademik pun jika didasari dengan motif tertentu termasuk aktivitas tarbiyah. Yang saya ingin sampaikan pada tulisan ini adalah, marilah kita prioritaskan kembali, kita hidupkan lagi, kita nyalakan tarbiyah yang mulai padam ini dikampus ini.
Kita buat lingkaran liqaat-liqaat, hidupkan ukhuwah, gelorakan semangat takwim, kembali ke asholah, pancang strategi, masifkan realisasi, kobarkan antusiasme membina.
Semoga saja kabar yang menyatakan dakwah kampus telah menopause adalah bohong belaka.
Aku Rindu
Mungkin karena rindu, saya seperti mendengar sayup-sayup ust Rahmat Abdullah membaca puisinya:
Aku rindu dengan Zaman Itu…
Aku rindu zaman ketika “halaqoh” adalah kebutuhan,
bukan sekedar sambilan apalagi hiburan
Aku rindu zaman ketika “membina” adalah kewajiban,
bukan pilihan apalagi beban dan paksaan
Aku rindu zaman ketika “dauroh” menjadi kebiasaan,
bukan sekedar pelengkap pengisi program yang dipaksakan
Aku rindu zaman ketika “tsiqoh” menjadi kekuatan,
bukan keraguan apalagi kecurigaan
Aku rindu zaman ketika “tarbiyah” adalah pengorbanan,
bukan tuntutan dan hujatan
Aku rindu zaman ketika “nasihat” menjadi kesenangan,
bukan su’udzon atau menjatuhkan
Aku rindu zaman ketika kita semua memberikan segalanya untuk da’wah ini
Aku rindu zaman ketika “nasyid ghuroba” menjadi lagu kebangsaan
Aku rindu zaman ketika hadir di “liqo” adalah kerinduan, dan terlambat adalah kelalaian
Aku rindu zaman ketika malam gerimis pergi ke puncak mengisi dauroh
dengan ongkos ngepas dan peta tak jelas
Aku rindu zaman ketika seorang ikhwah benar-benar jalan kaki 2 jam di malam buta sepulang tabligh dakwah di desa sebelah
Aku rindu zaman ketika akan pergi liqo selalu membawa uang infak, alat tulis, buku catatan dan Qur’an terjemahan ditambah sedikit hafalan
Aku rindu zaman ketika seorang binaan menangis karena tak bisa hadir di liqo
Aku rindu zaman ketika tengah malam pintu depan diketok untuk mendapat berita kumpul subuh harinya
Aku rindu zaman ketika seorang ikhwah berangkat liqo dengan ongkos jatah belanja esok hari untuk keluarganya
Aku rindu zaman ketika seorang murobbi sakit dan harus dirawat, para binaan patungan mengumpulkan dana apa adanya
Aku rindu zaman itu,..
Aku rindu…Ya ALLAH,..
Jangan Kau buang kenikmatan berda’wah dari hati-hati kami…
Jangan Kau jadikan hidup ini hanya berjalan di tempat yang sama…

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Industrialisasi Tarbiyah

Awalnya saya hampir frustasi melihat kondisi proses tarbawi di kampus dewasa ini. Halaqoh yang mulai kering. Agenda mabit, tastqif, dauroh yang mulai sepi peserta. Saya punya keyakinan bahwa ini bukan karena ketidakpedulian kader pada agenda tarbawi. Tetapi karena kader tidak mampu untuk mengelola tekanan dari kampus khususnya. Tekanan atmosfer akademik beberapa tahun terakhir semakin tinggi. Sehingga waktu untuk agenda pendukung t arbawi kehilangan alokasinya yang cukup. Efektivitas-Efisiensi Apa yang menyebabkan daging ikan patin dari sungai Mekong Vietnam lebih murah dari Patin Jambal Indonesia? Jawabannya adalah karena Efektivitas-Efisiensi industri patin di vietnam lebih tinggi. Semua rantai produksi dipadatkan di sungai mekong. Dari pabrik pakan, keramba budidaya, sampai pabrik olahan patin semua di satu lokasi tepi sungai mekong. Sehingga biaya produksi bisa ditekan dan produktifitas naik. Hal ini juga yang bisa menjawab kenapa industri rumahan kalah bersaing dengan

Buat Ananda

Dakilah gunung tinggi manapun yang ananda damba: Mahameru, Kalimanjaro, atau Himalaya. Sampai suatu saat, ananda kan temukan puncak tertinggi itu justru saat kening ananda menyentuh tanah tempat kaki ananda berpijak, meski itu tempat paling rendah di muka bumi...

Satu Malam Lebih Dekat (Dengan Al-Qur'an)

ilustrasi:kamifa.gamais.itb.ac.id Ust. Dedi Mulyono, tadi malam sampai berapi-api di Ruang Abu Bakar menyampaikan tentang Ruhiyah. Mari saya ceritakan. Tema mabit tadi malam adalah "Satu Malam Lebih Dekat (Dengan Al-Qur'an)". Diawali dengan tilawah keroyokan hingga pukul 9.00. Awalnya Ust. Dedi memulai kalem, lalu kami dikagetkan dengan pancaran energinya yang ia Obral ke setiap ya ng hadir. Ia awali dengan surah Al Hasyr ayat 19,"Dan janganlah kamu seperti orang-orang yang lupa kepada Allah. sehingga Allah membuat mereka lupa terhadap diri sendiri. Merekalah Orang-orang fasik." Inilah urgensi Ruhiah. Jika kita lupa kepada Allah dengan meninggalkan amalan-amalan ruhiyah, hakikatnya kita lupa pada diri sendiri. Melupakan Allah adalah melupakan diri, begitu singkatnya. Karena syaitan selalu ada dalam hati setiap insan, jika ada yang ingat Allah maka si syaitan sembunyi ketakutan. sepertinya pikiran kita tak pernah kosong, jika kita tidak ingat Allah, m