Ada yang mengeluhkan tentang menurunnya mutu kader. Lalu membandingkannya dengan romantisme mihwar tanzhimi dahulu saat tarbiyah mulai dirintis tahun 80-an.
Dauroh penuh. Halaqoh hidup. Militansi tak perlu ditanya lagi. Meski waktu itu tekanan rezim terasa sekali.
Kini, kita seolah lupa tarbiyah. Halaqoh hanya rutinitas kering. Dauroh sepi. Meski kader bertambah beberapa kali.
Kita berhak pesimis. Tetapi kita punya pilihan lain yang lebih menyenangkan: ini hanya waktu sahur, gelap sesaat sebelum fajar.
Sebab saat da'wah meluas memasuki era muassasi, mulai memasuki seluruh lini termasuk eksekutif dan legislatif, kita kaget. Seperti seorang bocah kampung yang baru kali pertama masuk dufan. Ternyata banyak wahana yang mesti kita naiki. Ternyata banyak pos yang harus kita isi.
Lalu kita lalai dengan tarbiyah sebab sibuk dengan wahana baru.
Kita baru sadar akhir-akhir ini bahwa kita mesti kembali memperkuat basis tarbiyah kita. Menghidupkan kembali ruh halaqoh-halaqoh kita.
Tugas berat kita hari ini adalah mencapai kurva ekuilibrium antara proses tarbiyah dan ekspansi da'wah.
Tugas kita semakin berat. Bila dulu di awal merintis kita hanya fokus ke proses pembinaan. Maka hari ini kita mesti punya kemampuan baru: multi thinking. Membarakan lagi tarbiyah sambil berusaha menyiapkan kompetensi spesialisasi kita agar bisa menempati pos-pos yang belum terisi.
Hingga suatu hari, saat Allah anugerahi kita mengelola negeri. Kita sudah punya kader yang siap mengisi semua lini.
Komentar