Langsung ke konten utama

Industri Pahlawan



Kita berhenti sejenak dari perdebatan retoris tentang apakah pahlawan itu diciptakan atau dilahirkan? Tentang apakah pahlawan itu sudah mempunyai “garis tangan” seorang pahlawan atau menggores sendiri “garis tangan” itu?  Kita juga harus berhenti berdebat tentang definisi pahlawan. Apakah pahlawan adalah mereka yang dikubur di taman makam pahlawan? Atau, apakah pahlawan adalah, seperti lilin, rela mengorbankan dirinya demi menerangi sekitar? Kita harus berhenti dari perdebatan definitif semacam ini. Kita memang tidak butuh definisi.

Ditengah badai yang tak henti porandakkan negeri ini. Di tengah topan yang robek layar bahtera bangsa ini. Kita kadang dengan polos berharap akan hadirnya seorang nahkoda yang dengan secepat kilat mengeluarkan kita dari kepungan badai ini. Kita berharap dengan begitu polos akan turunnya pahlawan dari langit untuk selesaikan krisis multidimensi yang gerogoti bangsa ini. Seperti superman yang penuh keajaiban selesaikan perkara tanpa susah payah. Seperti ultraman yang selalu hadir saat ada monster yang menyerang kota. Tanpa ada upaya serius untuk “mengundang” pahlawan itu. Kadang kita begitu polos, kalau tidak ingin dikatakan naif. 

Pasti ada suatu metode ilmiah untuk menghasilkan pahlawan. Seperti metode untuk menghasilkan bibit unggul suatu varietas tanaman atau menghasilkan strain terbaik melalui berbagai rekayasa genetika. Pasti ada sebuah mekanisme paling tepat untuk membuat sebuah industri: Industri Kepahlawanan. Tentu ada SOP untuk mengklon dan membudidayakan pahlawan. Pasti ada caranya, pasti ada prosedurnya. Bukan dengan berharap dan berharap. Dan untuk mengetahui itu semua, kita harus membuka lagi “hasil riset” yang telah teruji secara klinis di laboratorium sejarah. Disana dimuat tentang bagaimana pahlawan itu lahir, tumbuh, dan berbuah berbunga. Bagaimana pahlawan itu merespon tantangan-tantangan lingkungannya untuk kemudian berjibaku lalu merebut takdir kepahlawanannya.

Sebagian orang berpendapat bahwa pahlawan bisa dihasilkan lewat jalan militerisme. Lalu mengapa di Mesir militer malah menusuk rakyat yang seharusnya ia lindungi?! Yang lain berpandangan bahwa pahlawan bisa di lahirkan lewat penanaman nilai-nilai nasionalisme sejak dini. Tapi mengapa orang-orang nasionalis-komunis, di Korut misalnya, malah menyusahkan rakyatnya sendiri dan membawanya menuju ladang peperangan?! Jika kita beralih ke abad VI di jazirah Arab maka akan kita temukan orang-orang kasar gurun pengembala kambing tiba-tiba menjadi pahlawan peradaban yang menyebar cahaya dengan semangat cinta. Itulah satu-satunya kisah sukses sebuah industri kepahlawanan yang berhasil mencetak banyak pahlawan dalam waktu dan tempat yang bersamaan. Kalau kita telusuri apa mesin yang digunakan untuk mencetak pahlawan tersebut, maka kita akan bertemu dengan satu jawaban, yaitu Al Qur’an.

Memang tidak sekalipun Al Qur’an menyebut kata pahlawan. Tapi sebagian besar kisah yang ada dalam Al Qur’an adalah kisah tentang kepahlawanan. Tentang keberanian. Tentang pengorbanan. Seperti kisah kepahlawanan Thalut yang berhasil menghancurkan tentara Jalut meskipun jumlah tentara Thalut jauh lebih minim dari Tentara Jalut yang demikian banyak. Kisah ini bisa direnungkan kembali dalam ayat 246-251 pada surat Al Baqarah. Atau kisah kepahlawanan Musa yang menyelamatkan kaumnya dari kejaran tentara Fir’aun.  Atau kisah kepahlawanan Lukman yang selalu berpesan pada anaknya. Ada juga kisah kepahlawanan Pemuda kahfi yang ceritanya selalu kita baca tiap hari Jum’at. Dan terlalu banyak kisah-kisah kepahlawanan dalam Al Qur’an. Meski tidak pernah sekalipun Al Qur’an menyebut kata pahlawan. Kita barangkali memang tidak perlu definisi, yang kita perlukan adalah contoh nyata. Maka Al Qur’an adalah sumber inspirasi kepahlawanan. Maka Al Qur’an adalah mesin pencetak dalam industri kepahlawanan. Dari mesin inilah tercetak produk-produk berkualitas itu: Pahlawan-pahlawan peradaban. Dari Abu Bakar, pemimpin yang pahlawan. Umar, Negarawan yang pahlawan. Ustman, Hartawan yang pahlawan. Ali, ilmuan yang pahlawan. Sampai Tariq Bin Ziyad, Shalahudin Al Ayyubi, Muhammad al fatih, dan lebih banyak lagi pahlawan yang tidak sempat tertulis dalam sejarah. Namun setidaknya kita tahu mesin apa yang bisa mencetak mereka semua. Mesin canggih itu bermerk Al Qur’an.

Lantas, mengapa negeri kita hari ini mengalami krisis pahlawan? Bukankah Al Qur’an yang kita genggam ini adalah sama dengan 14 abad silam?! Bukankah “mesin” pencetaknya sama?! Bukankah bahan bakunya (baca: manusia muslim) juga sama melimpahnya?! Mungkin salah satu jawaban yang paling sederhana adalah karena kita tidak mengoperasikan “mesin” tersebut. Atau barangkali karena kita tidak mengunakannya dengan benar.

Maka, jika kita ingin mengulangi kejayaan industri kepemimpinan itu, hal yang harus kita lakukan adalah mengoperasikan “mesin” itu kembali dengan metode dan SOP yang sama seperti saat pertama kali “mesin” itu dioperasikan 14 abad silam. Percayalah, pasti akan tercetak jutaan produk pahlawan berkualitas dari industri kepahlawanan yang dengan penuh cinta memerangi setiap kebatilan dan menyebar kedamaian. Akan terlahir jutaan nahkoda yang siap memimpin bahtera menuju dermaga cahaya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Industrialisasi Tarbiyah

Awalnya saya hampir frustasi melihat kondisi proses tarbawi di kampus dewasa ini. Halaqoh yang mulai kering. Agenda mabit, tastqif, dauroh yang mulai sepi peserta. Saya punya keyakinan bahwa ini bukan karena ketidakpedulian kader pada agenda tarbawi. Tetapi karena kader tidak mampu untuk mengelola tekanan dari kampus khususnya. Tekanan atmosfer akademik beberapa tahun terakhir semakin tinggi. Sehingga waktu untuk agenda pendukung t arbawi kehilangan alokasinya yang cukup. Efektivitas-Efisiensi Apa yang menyebabkan daging ikan patin dari sungai Mekong Vietnam lebih murah dari Patin Jambal Indonesia? Jawabannya adalah karena Efektivitas-Efisiensi industri patin di vietnam lebih tinggi. Semua rantai produksi dipadatkan di sungai mekong. Dari pabrik pakan, keramba budidaya, sampai pabrik olahan patin semua di satu lokasi tepi sungai mekong. Sehingga biaya produksi bisa ditekan dan produktifitas naik. Hal ini juga yang bisa menjawab kenapa industri rumahan kalah bersaing dengan

Buat Ananda

Dakilah gunung tinggi manapun yang ananda damba: Mahameru, Kalimanjaro, atau Himalaya. Sampai suatu saat, ananda kan temukan puncak tertinggi itu justru saat kening ananda menyentuh tanah tempat kaki ananda berpijak, meski itu tempat paling rendah di muka bumi...

Satu Malam Lebih Dekat (Dengan Al-Qur'an)

ilustrasi:kamifa.gamais.itb.ac.id Ust. Dedi Mulyono, tadi malam sampai berapi-api di Ruang Abu Bakar menyampaikan tentang Ruhiyah. Mari saya ceritakan. Tema mabit tadi malam adalah "Satu Malam Lebih Dekat (Dengan Al-Qur'an)". Diawali dengan tilawah keroyokan hingga pukul 9.00. Awalnya Ust. Dedi memulai kalem, lalu kami dikagetkan dengan pancaran energinya yang ia Obral ke setiap ya ng hadir. Ia awali dengan surah Al Hasyr ayat 19,"Dan janganlah kamu seperti orang-orang yang lupa kepada Allah. sehingga Allah membuat mereka lupa terhadap diri sendiri. Merekalah Orang-orang fasik." Inilah urgensi Ruhiah. Jika kita lupa kepada Allah dengan meninggalkan amalan-amalan ruhiyah, hakikatnya kita lupa pada diri sendiri. Melupakan Allah adalah melupakan diri, begitu singkatnya. Karena syaitan selalu ada dalam hati setiap insan, jika ada yang ingat Allah maka si syaitan sembunyi ketakutan. sepertinya pikiran kita tak pernah kosong, jika kita tidak ingat Allah, m