gambar dari republika.co.id |
Entah siapa yang bilang bahwa Ibu
adalah madrasah pertama seorang manusia. Ada benarnya kalau Ibu disini bukanlah
Ibu Karir jaman sekarang. Juga kalau seorang Ibu benar-benar faham metode
mendidik anak yang benar. Pernyataan tadi juga benar jika dikaji dari sudut
pandang sejarah. Bahwa Ibu adalah institusi pendidikan pertama yang didirikan
sebelum kampus-kampus yang sekarang menjamur ini.
Dahulu, saat manusia masih hidup
secara nomaden, berpindah dari satu tempat ke tempat lainya, Ibu dan juga Ayah
mengajarkan pada anaknya bagaimana cara berburu yang baik. Apa saja
tempat-tempat yang bisa dijadikan tempat tinggal atau tidak. Ketika zaman
berubah, orang-orang mulai berfikir untuk menetap, maka periode ini manusia
beralih dari cara hidup nomaden dengan profesi utama sebagai pemburu menjadi
petani dan peternak. Sekarang mereka hidup dari sektor on farm, berternak dan
bertani. Hidup menetap. Pada masa ini juga, pendidikan dan pengajaran dilakukan
secara langsung oleh Ibu atau Ayah. Dengan materi pelajaran berupa pertanian
atau perternakan langsung di alam, bukan di ruang kuliah. Memang saat itu ruang
kuliah juga belum ada.
Zaman terus berganti, hingga
sampai pada masa manusia mulai hidup di perkotaan. Jadilah mereka masyarakat
Urban dengan diferensiasi pekerjaan yang beragam dan kompleks. Jadilah orang
tua mereka tidak lagi sempat menyertai anaknya untuk mengajari berbagai
disiplin ilmu kehidupan. Maka dititipkanlah anaknya itu pada orang yang “berpengalaman
makan asam manis kehidupan” agar diajari tentang hal yang diperlukan si anak
untuk bekal hidup si anak. Semakin hari semakin banyak saja anak yang
dititipkan untuk diajari sehingga dibuatlah tempat yang lebih besar dan materi
pengajaran yang di bakukan. Jadilah sekolah dengan kurikulum seperti sekarang
ini.
Kalau dilihat dari sejarahnya,
tujuan dari pengajaran, entah itu di keluarga atau sekolah, adalah untuk
mendekatkan manusia dengan realitas hidupnya. Bisa kita baca dari pengajaran
tentang memburu saat zaman itu manusia masih hidup nomaden. Juga saat era
pertanian dan urban. Dengan tujuan agar seorang anak memiliki kemampuan
bertahan hidup dengan mengenali realitas hidupnya secara baik. Lalu bagaimana
denga sekolah hari ini?
Hari ini, sekolah dan realitas
seakan dipisahkan dengan tembok tinggi. Di sekolah kita diajarkan tentang
kondisi ideal, sedangkan realitas yang ada menunjukkan kondisi yang jauh dari
ideal. Seakan ada dikotomi hitam putih antara sekolah dan realitas kehidupan
yang ada. Contoh mudah adalah bahwa adanya hubungan yang kurang baik antara
akademisi dan praktisi industri ataupun dengan politisi. Ada juga fenomena
seorang sarjana yang bingung tiba-tiba sehari setelah wisuda. Justru setelah
berbagai prestasi membanggakan di kampusnya.
Hal ini tidak menganehkan, sebab
dunia kita hari ini berubah lebih cepat dari pada kemampuan kita
mempelajarinya. Saat kita selesai
mempelajari suatu teknologi, teknologi
baru sudah ada bahkan banyak. Ditambah lagi dengan materi ajaran di
sekolah-sekolah kita, kalau kita mau jujur, adalah “barang lama”. Maka tidaklah
mengherankan kalau hari ini profesi seseorang tidaklah sama dengan latar
belakang pendidikannya. Kita hari ini hidup kebanyakan dari apa-apa yang kita
pelajari, bukan yang diajarkan.
Lalu apa yang dapat kita pelajari
di sekolah? Bukan materinya yang kita hapal mati, tapi yang harus kita pelajari
adalah cara belajar itu sendiri. Kita pada akhirnya harus mempelajari
perubahan-perubahan, bukan konstanta-konstanta atau teori-teori. Kita juga
harus menyusun kurikulum keilmuan kita sendiri disesuaikan dengan keadaan diri,
lingkungan, dan tantangan masa depan di tempat dimana kita hidup. Kita memang
terkadang harus melupakan kurikulum yang digeneralisir oleh sekolah. Kita juga
harus berani menyusun kerangka keilmuan kita yang paling relistis dengan
kehidupan kita, bukan materi-materi di sekolah dan kampus yang kadang stagnan.
Yang jadi pertanyaan besar adalah, jika suatu hari nanti atau
mungkin juga sudah terjadi di hari ini, saat sekolah tidak lagi mampu mendekatkan
manusia dengan realitas bahkan justru menjauhkannya, dari mana dan pada
siapakah kita harus belajar? Ataukah pada, kalau kata Ebiet G Ade, rumput yang
bergoyang?
Sejatinya kita harus belajar pada kehidupan itu sendiri. dalam waktu yang tak terbatas. Juga bukan di ruang kuliah, tapi di ruang antara langit dan bumi.
Komentar