“aku ingat betul. Pernah Kau kecup keningku disaat pagi. Meluruskan kerah bajuku yang lusuh. Menjahit kantong bajuku yang koyak tanpa kutahu. Ajariku hingga mampu berdiri tegak. Hingga mampu berjalan tegap. Lalu, kau minta aku pergi kejar cita hingga sampai di ujung samudera. Hingga aku melangkah kian jauh. Berderap hingga peluh. Tapi Kau tak pernah ingatkanku untuk berhenti. Tak pernah beritahuku sampai kapan mesti berlari. bahkan tak pernah tunjukanku jalan kembali. Padahal, ini pertama kalinya aku ingin pulang.......”
Pada suatu hari, aku menangis untuk pertamakalinya. Lalu
ibuku memberiku nama Syubhan Triyatna. Siapapun tidak tahu apa arti dari kata
Syubhan, bahkan ibuku sendiri. Mungkin Ibuku ingin agar aku sendirilah yang
memberi arti pada nama itu. Tentang triyatna, Tri artinya 3, aku adalah anak ke
3. Kalau Yatna diambil dari nama tetangga. Tapi jangan buruk sangka dulu. Itu
karena tetanggaku dulu adalah orang paling terpandang sekampung: Bapak Yayat
SupriYATNA. Beliau adalah kepala sekolah dan tokoh masyarakat yang terkenal
dengan kedermawanannya. Mungkin Ibuku ingin aku sepertinya. Keinginan seorang
ibu yang sederhana. Begitulah Ibuku.
Pada suatu hari, melihat setiap anak-anak waktu itu
bersepeda keliling desa. Aku iri. Jadilah aku “ngamuk” di rumah sejadi-jadi. Minta
dibelikan sepeda baru. Sebenarnya aku tahu waktu itu bahwa ibu memang tak punya
uang. Tapi seminggu kemudian tiba-tiba ibuku hadiahiku sebuah sepeda, sepeda
mirip bmx. Aku tak tahu dari mana uangnya. Setelah sekian lama, aku baru tahu
sepeda itu dapat berhutang pada warung samping rumahku.
Pada suatu hari, adzan magrib sudah sampai Hayya alal falah,
aku baru pulang kerumah. Tentu dengan keadaan yang tidak bisa dianggap anak
baik-baik: baju berlumpur, celana sobek, siku tangan kiri dan tumit kaki kanan lecet-lecet,
jalan pincang sebelah sebab tadi waktu main sepak bola tanpa sengaja menendang
batu. Ibuku marah. Aku dihukum dengan hukuman sangat berat menurutku waktu itu:
mencuci sendiri bajuku. Tapi, setelah itu ibuku memasakkan untukku nasi goreng
ternikmat yang pernah kusantap. Lalu mengantarku ke tukang urut. Esoknya? Begitu
lagi.
Pada suatu hari, aku menempel di kaca tetangga karena ingin
melihat televisi. Aku tidak boleh masuk sebab anaknya tetangga itu kemarin adu
jotos denganku. Ibuku pasti pilu melihat kejadian semacam itu. Seminggu kemudian
ibuku membeli televisi meski 14 inchi dengan merk yang mungkin sudah tidak ada
lagi kini: Detron.
Pada suatu hari, disebuah pagi, aku lapar ingin membeli
donat di warung ujung. Tapi ibuku kali ini memang benar-benar tak punya rupiah.
Aku memaksa. Aku menangis akhirnya. Ibuku juga. Lebih malah.
Pada suatu hari, ibuku tahu bahwa aku dapat rangking satu. Lalu
Ia ceritakan kepada setiap tetangga. Bahkan setiap orang yang bertamu. Aku tak
pernah melihatnya sebahagia itu.
Pada suatu hari (nanti), ibuku berbisik pada seorang wanita
di hari pernikahanku. Mengatakan padanya agar tetap tegar mendampingiku. Agar tetap sabar
membersamai orang sepertiku. Setegar dan sesabar karang yang meski dihantam
ombak selalu, tapi ia tak mau berpisah dari samudera.
Pada suatu hari (nanti), aku pulang bersama cucunya yang
baru. Lalu kubiarkan anakku untuk bersamanya beberapa waktu. Aku hanya ingin,
sekali lagi, melihat ibuku tersenyum.
Pada suatu hari (nanti), aku memberikan mahkota dari cahaya
untuk ibuku... seperti sabda rasul itu...
Komentar