Langsung ke konten utama

Bidik Misi: Antara hak dan Tanggung Jawab


Sampai juga dia di gerbang surga, akhirnya. Setelah melalui perjalanan yang panjang lagi melelahkan. Setelah diadili di mahkamah keadilan negeri akhirat. Setelah sepak terjangnya di dunia yang lalu di-audit oleh para malaikat dengan sangat detail dan menyeluruh. Setelah ditanya tentang setiap nafas, setiap detak jantung, dan setiap kedipan matanya. Sesekali dia memang tergagap menjawab cecaran pertanyaan malaikat. Setelah ditimbang seluruh perbuatan baik dan buruknya, shalih dan bejatnya, harum dan busuknya. Setelah dia alami ketegangan berkepanjangan. Setelah berbanjir keringat dan berkubang peluh menghadapi situasi saat itu. Dia sampai juga di gerbang surga, akhirnya. Selangkah lagi dia akan masuki taman-taman yang indahnya melebihi taman-taman gantung di Babilonia. Dan permadani surga pun sudah siap terhampar khusus untuknya.
Dia memang pantas mendapat semua itu: Surga dan segala apa yang didalamnya. Karena dia memang orang yang baik dan selalu berbuat baik. Tidak pernah lisannya menggores hati orang lain. Tidak pernah tangannya melukai orang lain. Dia pun rajin beribadah kepada Tuhannya, Senang menyambung tali persaudaraan, dan murah senyum. Pribadinya hampir sempurna. Maka sebutkanlah sifat-sifat yang baik, dan kau akan menemukan hampir seluruhnya ada pada dirinya. Jikapun ada sifat buruknya, tentulah itu tertutupi oleh sifat baiknya seperti  duri yang tertutupi oleh bunga-bunga.
Tapi awal hidupnya adalah mengharu biru. Dia dilahirkan dalam keluarga kurang berada. Penuh kekurangan disana-sini. Semasa awal hidupnya, dia adalah pribadi yang murung, rendah diri, dan penyendiri. Ini karena dia orang tak punya –jika tidak ingin mengatakan orang melarat-. Setelah itu, Kisahnya bisa dengan mudah ditebak, Seperti di sinetron atau film-film melankolis, dijauhilah dia oleh teman-temannya yang kebayakan berasal dari kalangan berada. Memang begitulah harta menciptakan jurang pemisah yang menganga lebar bernama kesenjangan sosial.
Seperti kata orang, “hidup adalah roda pedati, kadang memang kau berada di bawah terlindas,
tapi ada saatnya kau merasakan ada di puncak”. Begitulah hidupnya berubah setelah dia mendapat beasiswa S1. Prestasinya melejit bagai roket ke angkasa. Singkatnya, dia menjadi orang terbaik di angkatannya. Setelah itu, dia mendapat pekerjaan sebagai peneliti di luar negeri. Hasil penelitiannya amat bermanfaat bagi orang-orang disana. Dia hidup bahagia disana bersama anak dan istrinya yang berasal dari luar negeri sampai wafat. Tapi dia lupa akan tanah airnya, atau lebih tepatnya melupakan tanah airnya. Singkat cerita, kini dia sampai di gerbang surga.
Hanya butuh selangkah lagi dia akan masuki surga. Tiba-tiba dari kerumunan manusia kala itu di negeri akhirat, muncul seorang yang dulunya petani menghentikannya seraya berkata kepada Tuhannya,”Tuhanku, aku mohon keadilanmu. Janganlah biarkan dia masuk surga terlebih dahulu sebelum selesai urusannya denganku. Dulu sewaktu di dunia , aku adalah seorang yang selalu membayar pajak kepada Negara sambil berharap agar ada perbaikan dalam hidupku dan rakyat di negeriku. Negara lalu menyerahkan pajak yang aku bayar kepadanya sebagai beasiswa dengan tujuan agar dia memiliki cukup ilmu untuk mensejahterakan aku dan rakyat di negeriku. Tapi dia malah melupakan kami setelah dia memiliki cukup ilmu. Sehingga kami masih dalam kebodohan dan kesengsaraan hingga ajal menjemput. Tuhanku, aku mohon keadilanmu”. Setelah itu, para nelayan, anak yatim, orang miskin, serta jutaan orang lainnya mengadukan hal yang sama seperti yang diadukan petani tadi. Akhirnya, diapun tidak jadi masuk surga. Lalu dia dikumpulkan dalam satu kelompok dengan Gayus Tambunan dan Nazarudin. Ternyata, dulunya dia yang hampir masuk surga itu  adalah penerima bidik misi.
Sengaja saya awali tulisan ini dengan kisah diatas sebagai sepenggal kisah masa depan bersama bidik misi. Mungkin saja kisah ini akan menjadi kisah nyata yang akan menimpa penerima bidik misi jika mereka tidak bisa menjaga amanahnya. Naudzubillahimindzlik. Ini bukan kisah yang mengharu-biru pada mulanya lalu berbalik setelah mendapat beasiswa bidik misi seperti kebanyakan kisah penerimanya. Tapi kisah ini jauh lebih penting dari itu semua. Ini adalah kisah pertanggungjawaban sepanjang masa para penerima bidik misi di sini dan di sana: negeri akhirat.
Saya pun adalah penerima bidik misi. Sama seperti penerima bidik misi lainnya, saya berasal dari keluraga kurang berada. Setamat SMA, saya adalah orang yang amat berambisi meraih bidik misi karena saya lihat hanya itulah jalan yang mungkin untuk melanjutkan pendidikan. Tapi, saya tertolak. Karena tidak ada jalan lain untuk kuliah, saya pun bekerja serabutan. Tahun kedua setamat SMA, bidik misi dibuka kembali. Alhamdulillah, untuk kali ini saya didaulat sebagai penerima bidik misi.
Awalnya saya senang bukan kepalang menjadi penerima bidik misi. Keluarga, guru-guru, dan kawan-kawan turut senang mendengar kabar ini. Sepertinya, saat itu hari paling indah dengan bunga-bunga bertebaran di sana-sini. Hari itu fajar harapan menyeruak di ujung gelap. Tak henti-hentinya saya syukuri kesempatan kuliah kali ini. Berbekal semangat dan optimisisme, saya mulai melemparkan dadu masa depan saya saat itu juga ditemani bidik misi.
Tapi bukan itu kisah sebenarnya antara saya dan bidik misi. Sebenarnya, konflik yang terjadi adalah kebingungan saya dalam memaknai bidik misi secara utuh. Konflik ini berkembang dari alam bawah sadar saya lalu muncul ke permukaan kesadaran saya. Awalnya saya sangat bersemangat menjemput bidik misi karena saya merasa bahwa itulah hak saya sebagai warga negara dari negaranya. Hak yang tidak boleh tidak harus tersampaikan kepada orang yang membutuhkan. Bukankah Undang-undang Dasar juga berkata demikian?. Bukannya saya tidak bersyukur. Namun setelah saya mendapatkan beasiswa itu, saya malah semakin resah. Bukan kenyamanan belajar yang kemudian muncul, tapi keresahan akan tanggung jawab yang harus diterima, disyukuri, dilaksanakan, lalu dipertanggungjawabkan pada akhirnya. Yang terakhir inilah yang membuat saya semakin sering termenung.
Itulah yang akhir-akhir ini menciptakan gundah di hati saya ketika mengingat betapa besar tanggung jawab penerima bidik misi. Bukan sekedar tanggung jawab moril seperti kata pakar pendidikan, tapi tanggung jawab dalam arti yang sebenar-benarnya dan sesungguhnya. Sebuah tanggung jawab yang akan dimintai pertanggung jawaban di negeri akhirat. bagaimana tidak ! dalam setiap kucuran rupiah beasiswa bidik misi terdapat keringat para petani, peluh para nelayan, air mata anak yatim, dan harapan berjuta-juta rakyat di negeri ini. Jikapun saat ini mereka hanya diam, di negeri akhirat nanti mereka pasti akan menuntut pertanggungjawaban penerima bidik misi. Mungkin, kata orang, urusan akhirat agak klise untuk dibicarakan. Tapi bagaimanapun juga urusan ini adalah suatu keniscayaan meski orang-orang menghindarinya. Adalah suatu kepastian meski orang-orang mendustakannya.
Bidik misi bukanlah hadiah apalagi barang temuan, tapi lebih dari itu, ia adalah tanggung jawab. Bidik misi bukanlah pemberian, tapi ia adalah titipan investasi. Investasi dari jutaan rakyat negeri ini yang suatu saat akan dimintanya kembali. Bidik misi pada mulanya memang hak kita sebagai warga negara, tapi setelah kau dapatkan dia, dia berubah dan menjelma menjadi tanggung jawab yang pundakmu mungkin tak akan mampu menanggungnya.  Memang begitulah tabiat bidik misi yang sebenarnya.
Mungkin anda kira saya berlebihan menulis tentang bidik misi. Tapi tidak ! ini adalah  gambaran bidik misi sesungguhnya. Disini, saya hanya mencoba mengeluarkan gagasan sederhana berisi kegundahan saya tentang bidik misi. Kepada para penerima bidik misi, ingatlah, Bagi mereka yang menggunakannya dengan baik pun pasti akan dimintai pertanggungjawaban. Lalu, bagaimana dengan mereka yang menyalahgunakannya?. Bagaimana dengan mereka yang menggunakan uang bidik misi sekehendak hatinya?.
Jika ditanya tentang mengapa saya menulis seperti ini. biasanya saya akan terdiam, karena memang belum ada alasan yang jelas. Hanya dorongan naluri dan kerisauan lah yang berada di belakangnya.
Akhirnya, saya memohon kepada siapapun yang membaca tulisan ini agar sudi mendoakan kami : penerima bidik misi. Semoga kami bisa menjaga amanah ini dengan baik. Semoga lidah kami tidak kelu dan gerak kami tidak kaku dalam menjawab setiap tuntutan rakyat negeri ini. Amin.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Industrialisasi Tarbiyah

Awalnya saya hampir frustasi melihat kondisi proses tarbawi di kampus dewasa ini. Halaqoh yang mulai kering. Agenda mabit, tastqif, dauroh yang mulai sepi peserta. Saya punya keyakinan bahwa ini bukan karena ketidakpedulian kader pada agenda tarbawi. Tetapi karena kader tidak mampu untuk mengelola tekanan dari kampus khususnya. Tekanan atmosfer akademik beberapa tahun terakhir semakin tinggi. Sehingga waktu untuk agenda pendukung t arbawi kehilangan alokasinya yang cukup. Efektivitas-Efisiensi Apa yang menyebabkan daging ikan patin dari sungai Mekong Vietnam lebih murah dari Patin Jambal Indonesia? Jawabannya adalah karena Efektivitas-Efisiensi industri patin di vietnam lebih tinggi. Semua rantai produksi dipadatkan di sungai mekong. Dari pabrik pakan, keramba budidaya, sampai pabrik olahan patin semua di satu lokasi tepi sungai mekong. Sehingga biaya produksi bisa ditekan dan produktifitas naik. Hal ini juga yang bisa menjawab kenapa industri rumahan kalah bersaing dengan

Buat Ananda

Dakilah gunung tinggi manapun yang ananda damba: Mahameru, Kalimanjaro, atau Himalaya. Sampai suatu saat, ananda kan temukan puncak tertinggi itu justru saat kening ananda menyentuh tanah tempat kaki ananda berpijak, meski itu tempat paling rendah di muka bumi...

Satu Malam Lebih Dekat (Dengan Al-Qur'an)

ilustrasi:kamifa.gamais.itb.ac.id Ust. Dedi Mulyono, tadi malam sampai berapi-api di Ruang Abu Bakar menyampaikan tentang Ruhiyah. Mari saya ceritakan. Tema mabit tadi malam adalah "Satu Malam Lebih Dekat (Dengan Al-Qur'an)". Diawali dengan tilawah keroyokan hingga pukul 9.00. Awalnya Ust. Dedi memulai kalem, lalu kami dikagetkan dengan pancaran energinya yang ia Obral ke setiap ya ng hadir. Ia awali dengan surah Al Hasyr ayat 19,"Dan janganlah kamu seperti orang-orang yang lupa kepada Allah. sehingga Allah membuat mereka lupa terhadap diri sendiri. Merekalah Orang-orang fasik." Inilah urgensi Ruhiah. Jika kita lupa kepada Allah dengan meninggalkan amalan-amalan ruhiyah, hakikatnya kita lupa pada diri sendiri. Melupakan Allah adalah melupakan diri, begitu singkatnya. Karena syaitan selalu ada dalam hati setiap insan, jika ada yang ingat Allah maka si syaitan sembunyi ketakutan. sepertinya pikiran kita tak pernah kosong, jika kita tidak ingat Allah, m