Langsung ke konten utama

Belajar Ikhtiar dari Bunda Hajar


gambar dari zonapencarian.blogspot.com
Ditengah terik padang pasir. Panas. Gerah. Di waktu lalu, di suatu tempat yang kini kita sebut Makkah. Ada suatu romansa bernada dilema. Ibrahim Alaihi salaam, mesti meninggalkan isterinya, Hajar dan anaknya yang masih merah: Ismail. Karena suatu alasan dan perintah Tuhannya. Meski Ibrahim berat. Meski hatinya tak kuat. Berkali-kali Hajar Menanyakan mengapa Ia dan anaknya ditinggal begitu saja di tempat yang tak ada penduduk selainnya. Tak ada tumbuhan serumputpun, hanya ada pasir sejauh mata memandang. Tapi Ibrahim hanya diam, dan tak kuasa menjawab. Hanya diam dengan tatapan yang begitu sendu. Nanar. Lalu muncul kalimat dari lisan Hajar yang begitu menyejarah,”Jika memang ini perintah Allah, maka tentu Allah tak akan pernah menyia-nyiakan kami!”. lalu, Akhirnya Ibrahim pergi meninggalkan mereka berdua dengan tanpa menengok kebelakang. karena ia tahu, ia takkan kuat meninggalkan mereka. Tapi Ibrahim pergi juga, hingga hilang dari pandangan hajar. Maka Kini tinggal Hajar dan Anaknya di tengah gersang padang. Hanya tersisa sebejana air dan sekerat kurma.


Beberapa hari setelahnya, semua perbekalan Hajar habis, pun airnya kering. Hajar risau. Hajar Bingung. Ismail yang masih bayi itu menangis tanpa henti. Membuat suasana makin panik. Tapi Hajar tetap yakin, Hajar tetap berikhtiar. Ia Lari menuju bukit marwah, lalu kembali lagi ke shafa. Berlari lalu kembali. Begitu seterusnya. Heran saya, harusnya Hajar tahu bahwa tidak ada air di Bukit Shafa atau Marwah. Dan saya yakin hajar sadar itu. Tapi mengapa Hajar terus berlari mencari air setetes. Ya, hajar hanya ingin menunnjukkan kesungguhannya pada Allah. Ia mempertaruhkan keyakinannya. Dan Akhirnya keajaiban itu datang. Pertolongan Allah itu Hadir. Air itu muncul dibawah telapak kaki Ismail, bukan di Bukit Shafa yang jauh itu. Begitulah kisahnya, Air itu memancar bukan dari pencarian Hajar. Tapi apakah usaha Hajar itu sia-sia? Tidak. Allah tahu kerja kerasnya, lalu oleh sebab itu Allah turunkan pertolongannya.

Maka mengertilah kita tentang satu hal: Bahwa hasil bukan berasal dari Ikhtiar-ikhtiar kita, Tapi hak prerogratif Allah Ta’ala. Ini yang mesti kita yakini, bahwa ikhtiar kita, usaha kita hanya untuk menunjukkan kesungguhan kita. Yang mungkin dengan itu menjadi sebab turunnya pertolongan Allah. Sama seperti kita dahulu ingin membeli sebuah sepeda. Kita menabung uang yang kita sadar tak akan cukup untuk membeli sepeda, tapi kita terus menabung. Kita belajar bersepeda dengan meminjam sepeda kawan, meski kita tidak tahu akan punya sepeda atau tidak. Fokus kita waktu itu adalah memantaskan diri. Lalu akhirnya kitapun punya sepeda. Tapi bukan dari tabungan kita yang sedikit, tapi dari Ayah kita yang terenyuh melihat kesungguhan kita membeli sepeda. Begitu pulalah hidup ini, jika kita menginginkan sesuatu, maka tugas kita hanyalah berikhtiar untuk menunjukkan kesungguhan kita pada Allah yang semoga dengan itu Allah menurunkan pertolongan-Nya.

Begitulah. Terkadang pertolongan Allah hadir di tetes terakhir air mata kita. Muncul di bulir peluh terakhir usaha kita. Karena Allah ingin tahu seberapa keras ikhtiar kita. Seberapa yakin kita kepada-Nya....

6 Agustus 2012
Syubhan Triyatna

Komentar

sahabat pangan mengatakan…
Alhamdulillah, jazakallah karena selalu mengingatkan kami tentang hal ini, sehingga kami pun senantiasa bekerja karena Allah, meminta pertolongan-Nya... dan insyaAllah tidak ada rasa ujub di hati..
Syubhan Triyatna mengatakan…
Haadza Min Fadhli Robbi...

Postingan populer dari blog ini

Orang-Orang Romantis

ilustrasi:fiksi.kompasiana.com Aku selalu kagum pada mereka: orang-orang romantis. Mereka selalu bekerja dengan sepenuh cinta. Dengan segenap kesadaran. Boleh jadi mereka berpeluh, tapi pantang mengeluh. Memang mereka lelah, tapi tak kenal patah. Dan sesekali mereka berhenti, untuk sekedar menyeka keringat. Untuk sekedar menutup luka. lalu dengan nanar mereka menengadah menatap langit. seketika itu mereka teringat akan tujuan mereka, Cita-cita dan mimpi-mimpi mereka. saat itulah kerinduan mereka mendayu-dayu. menyala-nyala. Tapi mereka tidak terbuai, setelah itu mereka segera menggulung kembali lengan bajunya untuk meneruskan langkah yang sempat tertunda..... Senja, 17 Januari 2012     Pendaki Langit

Surat Untukmu, Bidadariku...

Dari Syubhan Triyatna, dengan sepenuh rindu, untukmu, seseorang yang telah Allah tuliskan dalam takdirNya.... Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh... Jangan kau tanya kenapa aku tulis surat ini yang bahkan aku sendiri bingung kemana harus mengalamatkannya. Surat ini kutujukan untukmu, yang aku sendiri belum tahu namamu, Tapi Ia tahu. Aku tak tahu apakah kau juga gelisah sama sepertiku, mengarungi detik demi detik masa muda itu ternyata tak semudah melewati jalan tol. Ia lebih mirip seperti mengarungi samudera. Gelombang maksiat menghantam dari segala sisi, kapalku pun sering oleng. Kemudian aku hanya ingin mencari dermaga, aku hanya ingin berlabuh. Lepas dari gelombang maksiat yang siap karamkan kapalku. Aku hanya ingin berlabuh sebelum aku tenggelam, dan dermaga itu adalah kamu, bidadariku....

Cara Kita Membaca BBM

"Semoga saja kemampuan kita membaca realita adalah tidak lebih rendah dari kemampuan kita membaca berita atau buku cerita..." Semenjak mendengar kabar tadi malam tentang harga BBM yang jadi naik. Seperti yang diberitakan Republika (17/6), Paripurna DPR sahkan RUU APBN Perubahan Lewat Voting. Artinya BBM sudah dipastikan naik. Saya jadi tak berselera lagi -yang memang sebelumnya juga sudah tidak ada- untuk membaca slide-slide dan diktat kuliah itu. Padahal pekan ini adalah pekan ujian, yang katanya berpengaruh hidup-mati bagi mahasiswa. Diktat-diktat itu berisi teori-teori yang tidak terlalu jelas kemana muaranya. Tidak terlalu jelas bagaimana penerapannya. Hanya sebagai syarat mendapat huruf-huruf mutu itu yang katanya akan berguna saat kita mencari kerja. Ia aja deh .