Langsung ke konten utama

Catatan Hati Kadiv Konsumsi

“Yang mesti kita fahami lagi adalah, bahwa butir nasi yang kita buang-buang itu bukan hanya tumbuh dari padi yang diairi aliran irigasi tapi juga tumbuh oleh air mata, peluh, bahkan darah para petani !”
Mei 2012. Saya mendaftar, tepatnya didaftarkan di sebuah kepanitiaan terbesar di Institut Pertanian Bogor: MPKMB. Kepanitiaan Masa Perkenalan Kampus Mahasiswa Baru. Besar, karena Jumlah pesertanya hampir  5000 orang dengan panitia  355 orang. Tapi sepertinya bukan itu yang membuat besar, yang membuat besar adalah tanggung jawab seorang kakak kepada adiknya. Tanggung jawab pewarisan keluhuran budi dari pendahulu kepada penerusnya. Disitu beratnya, disitu besarnya.

Kemudian, tanpa saya tahu kenapa, saya ditempatkan di divisi konsumsi yang lalu saya ubah namanya menjadi divisi Pangan. Saya tidak tahu sebelumnya apa yang akan terjadi, karena itu pertama kalinya saya mengurusi makan orang banyak. Saya hanya yakin, Allah hendak memberi tahu saya tentang satu hal, yang baru saya sadari betul setelah kepanitian berakhir. Setelah banyak hal yang terjadi. Terlalu banyak, di kepanitiaan ini. 

Desember 2012. Saya diamanahi lagi di divisi yang sama namun di kepanitiaan yang berbeda. Acara seminar Pasca Kampus Bidik Misi. Memang acara ini tidak sebesar MPKMB, hanya berpeserta 300 orang, sepertinya kurang dari itu. Dengan panitia sekitar   30 orang atau kurang. Tapi kejadian akhirnya sama. Mirip sekali. Miris.

Ini pula yang membuat saya, entah sedih, marah, kecewa, atau apapun itu saya pun tidak tahu. Kejadiannya sama; Banyak nasi-nasi yang bersisa, terbuang percuma. Lauk-lauk yang dibuang begitu saja. Berceceran dimana-mana. Apalagi kita ini adalah mahasiswa pertanian, yang mestinya menjadi orang yang pertama kali menangis ketika melihat kelaparan dimana-mana. Itulah yang membuat saya ingin menangis, rasanya. Di dua kepanitiaan itu. Sama saja.


Tertahan.untungnya,  Air mata ini masih mampu saya bendung.  Melihat butir-butir nasi yang akhirnya menjelma sampah itu perih. Butir nasi itu bukannya masuk mulut yang kelaparan, malah masuk mulut tempat sampah. Itu juga perih. Jika bisa, ingin saya rasanya memakan habis nasi sisa itu  untuk menghargai peluh para petani. Dan, kita masih saja mengaku-ngaku mahasiswa pertanian.

Disitu perihnya. Saat berandai, jika saja nasi-nasi yang terbuang itu bisa kita berikan kepada bayi-bayi yang sekarat di somalia karena kelaparan. Atau kepada Warga di dusun-dusun pantai utara yang seringnya makan nasi aking, semacam nasi basi yang dijemur keringkan. Andai saja. Mungkin sebutir nasi yang kita sia-siakan itu sangat berarti bagi mereka, bagi nyawa mereka. Dan, kita masih saja mengaku-ngaku mahasiswa pertanian.

Dua kepanitiaan itu mengajarkan saya agar menghargai makanan seperti seorang ayah menghargai anaknya. Karena di butir-butir nasi itu ada peluh, air mata, bahkan darah para petani, yang  kuyup kala hujan dan legam terbakar kala terik. Di setiap butir itu pula terdapat kehidupan. Di setiap butir itu juga ada harapan. Ada tumpuan. Di setiap butir yang kita buang tanpa rasa dosa. Dan, kita masih saja mengaku-ngaku mahasiswa pertanian.

Sampai detik ketika tulisan ini dibuat, saya belum benar-benar mendapat jawaban jika suatu nanti ditanya oleh-Nya, “Mengapa sampai ada butir nasi yang tersisa? Padahal di tempat lain banyak yang sekarat kelaparan. Dan kau kadiv Konsumsi, apa pembelaanmu? “


Sesaat setelah acara ditutup,
Yang masih saja mengaku-ngaku mahasiswa pertanian,

Syubhan Triyatna

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Orang-Orang Romantis

ilustrasi:fiksi.kompasiana.com Aku selalu kagum pada mereka: orang-orang romantis. Mereka selalu bekerja dengan sepenuh cinta. Dengan segenap kesadaran. Boleh jadi mereka berpeluh, tapi pantang mengeluh. Memang mereka lelah, tapi tak kenal patah. Dan sesekali mereka berhenti, untuk sekedar menyeka keringat. Untuk sekedar menutup luka. lalu dengan nanar mereka menengadah menatap langit. seketika itu mereka teringat akan tujuan mereka, Cita-cita dan mimpi-mimpi mereka. saat itulah kerinduan mereka mendayu-dayu. menyala-nyala. Tapi mereka tidak terbuai, setelah itu mereka segera menggulung kembali lengan bajunya untuk meneruskan langkah yang sempat tertunda..... Senja, 17 Januari 2012     Pendaki Langit

Surat Untukmu, Bidadariku...

Dari Syubhan Triyatna, dengan sepenuh rindu, untukmu, seseorang yang telah Allah tuliskan dalam takdirNya.... Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh... Jangan kau tanya kenapa aku tulis surat ini yang bahkan aku sendiri bingung kemana harus mengalamatkannya. Surat ini kutujukan untukmu, yang aku sendiri belum tahu namamu, Tapi Ia tahu. Aku tak tahu apakah kau juga gelisah sama sepertiku, mengarungi detik demi detik masa muda itu ternyata tak semudah melewati jalan tol. Ia lebih mirip seperti mengarungi samudera. Gelombang maksiat menghantam dari segala sisi, kapalku pun sering oleng. Kemudian aku hanya ingin mencari dermaga, aku hanya ingin berlabuh. Lepas dari gelombang maksiat yang siap karamkan kapalku. Aku hanya ingin berlabuh sebelum aku tenggelam, dan dermaga itu adalah kamu, bidadariku....

Cara Kita Membaca BBM

"Semoga saja kemampuan kita membaca realita adalah tidak lebih rendah dari kemampuan kita membaca berita atau buku cerita..." Semenjak mendengar kabar tadi malam tentang harga BBM yang jadi naik. Seperti yang diberitakan Republika (17/6), Paripurna DPR sahkan RUU APBN Perubahan Lewat Voting. Artinya BBM sudah dipastikan naik. Saya jadi tak berselera lagi -yang memang sebelumnya juga sudah tidak ada- untuk membaca slide-slide dan diktat kuliah itu. Padahal pekan ini adalah pekan ujian, yang katanya berpengaruh hidup-mati bagi mahasiswa. Diktat-diktat itu berisi teori-teori yang tidak terlalu jelas kemana muaranya. Tidak terlalu jelas bagaimana penerapannya. Hanya sebagai syarat mendapat huruf-huruf mutu itu yang katanya akan berguna saat kita mencari kerja. Ia aja deh .