Langsung ke konten utama

Lelaki-lelaki Kurus


“ada orang-orang yang membiarkan kurus  tubuhnya demi untuk membesarkan jiwanya”
Ia memang terkungkung dalam sel penjara. Tapi itu hanya raganya. Hanya Tubuhnya. Namun buah pikirannya melanglang buana lintasi benua. Sebrangi samudera. Maka sampailah tulisan-tulisannya di India. Dari sel sempit dimesir, buah pikirannya terbang dan sampailah di syaikh itu, Syaikh Hasan An Nadwi. An Nadwi pun terpukau. Membaca tulisan-tulisan itu, yang kuat gagasannya, utuh pemikirannya. Keras namun penuh kelembutan hati. Tulisan itu bergetar. Berruh sekaligus. Ia terpana. tak salahlah, jika kemudian, An Nadwi berpikir bahwa sang penulis ini bertubuh gagah, kekar seperti tulisan-tulisannya yang memang bergagasan kuat dan utuh. Dan tatkala An Nadwi berkesempatan mengunjungi mesir. Terkejutlah ia. Ternyata si empunya gagasan tidak seperti yang ia pikirkan: kekar, gagah, rupawan. Yang ada dihadapannya kini adalah lelaki kurus, ringkih, ceking, sama sekali tidak kekar. Ia adalah Sayyid Qutbh. Tapi itu tidaklah mengurangi kekaguman An Nadwi, tapi justru menambah rasa hormatnya. Ia malah semakin takjub.

Begitulah orang-orang kurus itu. Tubuhnya memang kurus, tapi jiwanya tidak, jiwanya besar. Raganya memang ringkih, tapi pikirannya raksasa.  Dalam setapak sepanjang jalan sejarah. Kita banyak bertemu lelaki-lelaki semacam ini. Sebab sejarah bukanlah dunia super hero, yang semua pesona menyatu didalamnya. Terlalu utopis. Dalam dunia superhero yang kita kenal melalui film-film selalu terdapat pahlawan paripurna dengan jiwa dan raga yang sama sempurnanya. Begitulah industri perfilman. Sama sekali tidak berdasar. Tengoklah  Peter Parker dalam Spiderman, ia punya pesona raga yang sama bagusnya dengan pesona pikiran dan jiwanya. Ada Juga Batman yang punya segudang harta, miliki paras pujaan wanita, juga otak yang sama briliannya. Tapi itu hanya rekayasa. Di dunia nyata, kita kadang hanya mewakili satu pesona. Ada yang jiwanya mulia, namun fisiknya tidak mempesona. Lebih banyak lagi orang yang raganya bagai Yusuf di zamannya, namun jiwanya begitu busuk.

Ia pendahulu sahabat-sahabatnya. Paling lembut jiwanya. Paling dermawan. Paling santun. Sekaligus paling kurus. Ia membenarkan Sang Nabi saat yang lain mendustakannya.  Ia adalah lelaki yang disebut Al Qur’an saat temani sang Nabi berhijrah, Abu Bakar Ash Shidiq. Setiap kali hendak memakai sarung, ia kesulitan, sarungnya senantiasa tidak pas. Sebab ia terlalu kurus. Namun ia adalah yang paling berani saat sebagian dari kaum muslimin tidak mau membayar Zakat. Ia adalah yang paling berani memerangi mereka. Ia juga yang paling tenang saat di hari Rasullallah Wafat, saat Umar sudah membabi-buta kehilangan akal sehatnya karena begitu sedihnya. Hanya  lelaki kurus inilah yang sanggup menenangkan warga madinah kala itu.

Kalau lelaki kurus yang satu ini tentu kita mengenalnya. Lebih kita kenal dengan sebutan Jenderal Soedirman. Ya, dia seorang Jenderal. Berbulan-bulan menyusuri hutan-hutan di Yogyakarta memimpin tentara kemerdekaan saat itu. Ia yang bahkan tidak lebih kekar dari pasukannya, begitu dihormati. Ia memang tidak kekar, tapi pengaruhnya terlalu besar, terlalu luas. Ia sederhana. Tubuhnya memang kurus, tapi dengan tubuh kurusnya itu, ia mampu mengusir orang-orang penjajah yang tubuhnya jauh lebih berotot. Ia, Jenderal Soedirman, adalah keajaiban pada zamannya.

Hari ini, kita belajar  tentang satu hal, tentang raga yang sudah tak lagi mampu menampung jiwa. Pertumbuhan jiwanya terlalu pesat dibanding pertumbuhan ototnya. Jadilah raganya lelah. Jika Jiwa itu besar, kata Ust Rahmat Abdullah, maka raga akan kesulitan mengikutinya. Itulah mereka. Raga diibaratkan sebagai wadah, dan jiwa adalah air. Wadah seberapapun ukurannya tidak akan mampu menampung air itu tatkala ia membanjir. Begitulah yang terjadi pada orang-orang itu. Raga mereka mungkin lelah, payah, ringkih. Namun jiwa mereka kekar, sehat, bahkan meraksasa.

Saya menulis ini bukanlah untuk menghibur diri sendiri. Bukan pula kekaguman pada mereka yang hanya berakhir pada rasa kagum itu.  Tapi hanya ingin mengatakan bahwa sejarah adalah milik semua orang: yang kekar atau yang ringkih, yang  bugar  ataupun yang kurus. Tapi sejarah hanyalah milik orang-orang yang jiwanya besar. Sejarah tidak pernah sekalipun menerima  jiwa-jiwa yang kerdil.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Industrialisasi Tarbiyah

Awalnya saya hampir frustasi melihat kondisi proses tarbawi di kampus dewasa ini. Halaqoh yang mulai kering. Agenda mabit, tastqif, dauroh yang mulai sepi peserta. Saya punya keyakinan bahwa ini bukan karena ketidakpedulian kader pada agenda tarbawi. Tetapi karena kader tidak mampu untuk mengelola tekanan dari kampus khususnya. Tekanan atmosfer akademik beberapa tahun terakhir semakin tinggi. Sehingga waktu untuk agenda pendukung t arbawi kehilangan alokasinya yang cukup. Efektivitas-Efisiensi Apa yang menyebabkan daging ikan patin dari sungai Mekong Vietnam lebih murah dari Patin Jambal Indonesia? Jawabannya adalah karena Efektivitas-Efisiensi industri patin di vietnam lebih tinggi. Semua rantai produksi dipadatkan di sungai mekong. Dari pabrik pakan, keramba budidaya, sampai pabrik olahan patin semua di satu lokasi tepi sungai mekong. Sehingga biaya produksi bisa ditekan dan produktifitas naik. Hal ini juga yang bisa menjawab kenapa industri rumahan kalah bersaing dengan

Buat Ananda

Dakilah gunung tinggi manapun yang ananda damba: Mahameru, Kalimanjaro, atau Himalaya. Sampai suatu saat, ananda kan temukan puncak tertinggi itu justru saat kening ananda menyentuh tanah tempat kaki ananda berpijak, meski itu tempat paling rendah di muka bumi...

Satu Malam Lebih Dekat (Dengan Al-Qur'an)

ilustrasi:kamifa.gamais.itb.ac.id Ust. Dedi Mulyono, tadi malam sampai berapi-api di Ruang Abu Bakar menyampaikan tentang Ruhiyah. Mari saya ceritakan. Tema mabit tadi malam adalah "Satu Malam Lebih Dekat (Dengan Al-Qur'an)". Diawali dengan tilawah keroyokan hingga pukul 9.00. Awalnya Ust. Dedi memulai kalem, lalu kami dikagetkan dengan pancaran energinya yang ia Obral ke setiap ya ng hadir. Ia awali dengan surah Al Hasyr ayat 19,"Dan janganlah kamu seperti orang-orang yang lupa kepada Allah. sehingga Allah membuat mereka lupa terhadap diri sendiri. Merekalah Orang-orang fasik." Inilah urgensi Ruhiah. Jika kita lupa kepada Allah dengan meninggalkan amalan-amalan ruhiyah, hakikatnya kita lupa pada diri sendiri. Melupakan Allah adalah melupakan diri, begitu singkatnya. Karena syaitan selalu ada dalam hati setiap insan, jika ada yang ingat Allah maka si syaitan sembunyi ketakutan. sepertinya pikiran kita tak pernah kosong, jika kita tidak ingat Allah, m