Langsung ke konten utama

Selalu Ada Rindu di Surau Itu

“Ingsun titip Tajug Lan Fakir Miskin.”
 -Sunan Gunung Jati, tentang Surau-
Mari kita berbincang tentang makna dari kutipan tadi. Terjemahan bebasnya kira-kira begini: “Aku titipkan padamu, hai anak muda, Mushala-mushala itu, Tajug-tajug itu, surau-surau itu. Ramaikan selalu tempat sederhana itu. Dan, setelah itu jangan hanya kau sibuk Shalat berdzikir di tempat itu saja, ingatlah dan bantulah orang-orang yang fakir maupun miskin yang menanti uluran tanganmu.” Begitu mungkin yang ingin disampaikan Sunan Gunung jati.


Surau.  Apapun sebutannya: tajug, Mushala, langgar, dan sebagainya, memiliki cita rasanya sendiri. Terlebih kita yang semasa kecil hidup di pedesaan. Dalam kesederhanaanya, Surau selalu punya hal-hal yang –bahkan- tidak ada di Masjid-Masjid mewah di kota itu. Surau, apapun sebutannya, selalu menyimpan cerita. Disitu ada rindu. Ada sejarah. Ada kenangan. Seperti Edcoustic yang menumpahkan rindunya dalam “Sepotong Episode”:

sebuah kisah masa lalu hadir di benakku  
saat kulihat surau itu  
menyibak lembaran masa yang indah  
bersama sahabatku 
sepotong episode masa lalu aku  
episode sejarah yang membuatku kini 
merasakan bahagia dalam diin-Mu 
merubah arahan langkah di hidupku

setiap sudut surau itu menyimpan kisah 
kadang kurindu cerita yang
tak pernah hilang kenangan
bersama mencari cahayamu 


Surau, meski terpinggirkan, harusnya masih punya tempat di hati-hati kita. Walau mata ini silau dengan tingginya menara-menara masjid besar itu. Harusnya kita berterimakasih kepada surau yang telah membersamai pertumbuhan kita. Disitu terekam jenak-jenak “kejahilan” kita, keluguan, dan tawa-tawa sahabat kecil kita. Ingatkah kau kawan? Disitu selalu ada Guru-guru yang ikhlas mengajari kita yang terbata mengaji. Selalu ada kawan-kawan kita yang sedia mendengarkan kita. Berceloteh bersama.

Surau, meski berubah makna, harusnya tetap hadir dalam kanal memori kita. Meski, Surau kini berbeda dengan surau yang dulu pernah mengisi masa kecil kita. Surau atau lebih kita kenal mushala, -terlebih di perkotaan-  hanyalah tempat singgah untuk Shalat dalam gesa. Dalam buru. Berada di pojok tempat perbelanjaan, di dekat parkiran, dihimpit WC, dalam sesak gerah, dan ah...apakah pengelola Mall-mall itu tidak pernah merasai masa kecilnya di mushala?! Ataupun jika pernah, pasti kenangan mereka tentang Surau telah dibeli oleh “uang”.

Surau. Setiap kita pasti punya cerita tentang itu. Maka, mari kita kenang kembali saa-saat kita tumbuh di tempat itu. Meski sulit susah kita cari suasana Surau yang dulu. Tapi, setidaknya kenangan itu masih tersimpan rapi di lobus-lobus hati kita. Dan, ah....Surau memang punya rindunya sendiri.....



Di sela-sela rindu, 5 maret 2012
Pendaki Langit

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Industrialisasi Tarbiyah

Awalnya saya hampir frustasi melihat kondisi proses tarbawi di kampus dewasa ini. Halaqoh yang mulai kering. Agenda mabit, tastqif, dauroh yang mulai sepi peserta. Saya punya keyakinan bahwa ini bukan karena ketidakpedulian kader pada agenda tarbawi. Tetapi karena kader tidak mampu untuk mengelola tekanan dari kampus khususnya. Tekanan atmosfer akademik beberapa tahun terakhir semakin tinggi. Sehingga waktu untuk agenda pendukung t arbawi kehilangan alokasinya yang cukup. Efektivitas-Efisiensi Apa yang menyebabkan daging ikan patin dari sungai Mekong Vietnam lebih murah dari Patin Jambal Indonesia? Jawabannya adalah karena Efektivitas-Efisiensi industri patin di vietnam lebih tinggi. Semua rantai produksi dipadatkan di sungai mekong. Dari pabrik pakan, keramba budidaya, sampai pabrik olahan patin semua di satu lokasi tepi sungai mekong. Sehingga biaya produksi bisa ditekan dan produktifitas naik. Hal ini juga yang bisa menjawab kenapa industri rumahan kalah bersaing dengan

Buat Ananda

Dakilah gunung tinggi manapun yang ananda damba: Mahameru, Kalimanjaro, atau Himalaya. Sampai suatu saat, ananda kan temukan puncak tertinggi itu justru saat kening ananda menyentuh tanah tempat kaki ananda berpijak, meski itu tempat paling rendah di muka bumi...

Satu Malam Lebih Dekat (Dengan Al-Qur'an)

ilustrasi:kamifa.gamais.itb.ac.id Ust. Dedi Mulyono, tadi malam sampai berapi-api di Ruang Abu Bakar menyampaikan tentang Ruhiyah. Mari saya ceritakan. Tema mabit tadi malam adalah "Satu Malam Lebih Dekat (Dengan Al-Qur'an)". Diawali dengan tilawah keroyokan hingga pukul 9.00. Awalnya Ust. Dedi memulai kalem, lalu kami dikagetkan dengan pancaran energinya yang ia Obral ke setiap ya ng hadir. Ia awali dengan surah Al Hasyr ayat 19,"Dan janganlah kamu seperti orang-orang yang lupa kepada Allah. sehingga Allah membuat mereka lupa terhadap diri sendiri. Merekalah Orang-orang fasik." Inilah urgensi Ruhiah. Jika kita lupa kepada Allah dengan meninggalkan amalan-amalan ruhiyah, hakikatnya kita lupa pada diri sendiri. Melupakan Allah adalah melupakan diri, begitu singkatnya. Karena syaitan selalu ada dalam hati setiap insan, jika ada yang ingat Allah maka si syaitan sembunyi ketakutan. sepertinya pikiran kita tak pernah kosong, jika kita tidak ingat Allah, m