Langsung ke konten utama

Masjid dan Setumpuk Rindu


Masjid Al Hurriyyah tercinta
Bicara tentang masjid, maka kita harus membuka kembali kotak rindu kita. Masjid, disitu tersimpan rindu kita pada sosok al-Amin. Pada merdu lantunan Qur’annya dalam memimpin rangkaian shalat. Pada Khutbah-khutbah yang menusuk kesadaran sahabat dahulu. Disitu ada Rasullallah SAW yang bersedia setiap saat mendengar setiap keluh dan kesah. Ada Sang Nabi yang senantiasa membagi senyum dan menampung gundah. Ada Muhammad ibn Abdullah yang tatapnya saja mampu meluluhkan hati keras membatu. Yang ketika member nasihat, Para sahabat berebut dan berlomba melaksanakannya.
Suatu ketika, Rasullallah SAW menjelang beberapa hari wafatnya. Beliau sempat memberi  nasihat dari atas mimbar masjid itu. Dimulai sejak ba’da subuh hingga waktu dzuhur. Lalu, dilanjutkan setelah dzuhur hingga ashar. Dan dihabiskan dari ba’da Ashar hingga masuk waktu magrib. Meski bicara selama itu, tidak ada satupun sahabat yang tersedak kantuk. Tak ada bosan. Tak ada jenuh. Semua satu tatap padanya. Adakalanya sahabat menagis hingga basah janggutnya. Tidak jarang juga sahabat tersenyum sumringah. Bahkan, saya ragu apakah retorika Soekarno atau Napoleon Bonaparte mampu melakukan hal serupa.
Di masjid, terselip juga rindu kita pada sosok yang lemah lembut ini, Abu Bakar. Dia, yang tiba-tiba menangis kencang di depan mimbar saat Rasul bersabda tentang kemenangan yang semakin dekat. Ya, saat sahabat lain bersorak-sorai akan kabar itu, Abu Bakar malah menangis tergugu mengguncang bahu. Umar pun bingung dibuatnya. Tapi, hanya Abu Bakar yang mengerti. Hanya Abu Bakar yang mengerti bahwa itu adalah isyarat bahwa kepergian Sang Nabi semakin dekat.
Dalam masjid, pasti masih ada rindu kita pada sosok garang ini: Umar ibn Khattab.  Suatu siang yang terik menyengat kota Madinah. Sang khalifah, Umar, menghampiri masjid untuk sekedar berlindung dari terik. Lalu, Ia-pun tertidur pulas di lantai masjid itu. Bebas. dengan raut muka lepas seolah tanpa beban. Bersamaan dengan itu, datang utusan dari Romawi ingin bertemu khalifah.  Amr ibn Ash kemudian mengantarnya pada sebah masjid. Utusan itu geleng-geleng sekaligus takjub campur bingung. “ Mana para pengawalnya?” tanyanya. Tidak ada pengawal, itu khalifah Umar yang tengah pulas tertidur karena lelahnya. Pulas. Lepas. Di lantai masjid itu. Maka, ketika di masjid , saya kadang mencari-cari Umar yang pulas, meski saya sadar tak mungkin ada. Saya hanya rindu.
Masjid dalam bentuknya yang paling sederhana sekalipun. Selalu memunculkan rasa rindu pada masa kecil kita. Pada cahaya temaram antara magrib dan isya. Ada ustadz yang selalu setia mengajari kita yang terbata-bata. Pun, tentu ada canda dan tawa setelah itu bersama sahabat-sahabat masa kecil kita yang selalu punya tempat tersendiri di hati-hati kita. Disitu. Di masjid itu. Ada setumpuk rindu.

Di sela Rindu, 18 Maret 2012
Pendaki Langit

Komentar

Azka Madihah mengatakan…
Indahnya.. Terteteslah air mata saya.. Salam kenal ya.. Saya alumnus IPB.. Terima kasih telah menulis seindah ini..
Azka Madihah mengatakan…
Izin ya untuk menyimpan ide tentang tangisan Abu Bakar tsb sebagai bahan tulisan saya nantinya di azkamadihah.wordpress.com :)
Syubhan Triyatna mengatakan…
Jazaakallah Mbak Azka atas komentarnya...
Blog Mbak Azka begitu "inspiring.."

Postingan populer dari blog ini

Industrialisasi Tarbiyah

Awalnya saya hampir frustasi melihat kondisi proses tarbawi di kampus dewasa ini. Halaqoh yang mulai kering. Agenda mabit, tastqif, dauroh yang mulai sepi peserta. Saya punya keyakinan bahwa ini bukan karena ketidakpedulian kader pada agenda tarbawi. Tetapi karena kader tidak mampu untuk mengelola tekanan dari kampus khususnya. Tekanan atmosfer akademik beberapa tahun terakhir semakin tinggi. Sehingga waktu untuk agenda pendukung t arbawi kehilangan alokasinya yang cukup. Efektivitas-Efisiensi Apa yang menyebabkan daging ikan patin dari sungai Mekong Vietnam lebih murah dari Patin Jambal Indonesia? Jawabannya adalah karena Efektivitas-Efisiensi industri patin di vietnam lebih tinggi. Semua rantai produksi dipadatkan di sungai mekong. Dari pabrik pakan, keramba budidaya, sampai pabrik olahan patin semua di satu lokasi tepi sungai mekong. Sehingga biaya produksi bisa ditekan dan produktifitas naik. Hal ini juga yang bisa menjawab kenapa industri rumahan kalah bersaing dengan

Buat Ananda

Dakilah gunung tinggi manapun yang ananda damba: Mahameru, Kalimanjaro, atau Himalaya. Sampai suatu saat, ananda kan temukan puncak tertinggi itu justru saat kening ananda menyentuh tanah tempat kaki ananda berpijak, meski itu tempat paling rendah di muka bumi...

Satu Malam Lebih Dekat (Dengan Al-Qur'an)

ilustrasi:kamifa.gamais.itb.ac.id Ust. Dedi Mulyono, tadi malam sampai berapi-api di Ruang Abu Bakar menyampaikan tentang Ruhiyah. Mari saya ceritakan. Tema mabit tadi malam adalah "Satu Malam Lebih Dekat (Dengan Al-Qur'an)". Diawali dengan tilawah keroyokan hingga pukul 9.00. Awalnya Ust. Dedi memulai kalem, lalu kami dikagetkan dengan pancaran energinya yang ia Obral ke setiap ya ng hadir. Ia awali dengan surah Al Hasyr ayat 19,"Dan janganlah kamu seperti orang-orang yang lupa kepada Allah. sehingga Allah membuat mereka lupa terhadap diri sendiri. Merekalah Orang-orang fasik." Inilah urgensi Ruhiah. Jika kita lupa kepada Allah dengan meninggalkan amalan-amalan ruhiyah, hakikatnya kita lupa pada diri sendiri. Melupakan Allah adalah melupakan diri, begitu singkatnya. Karena syaitan selalu ada dalam hati setiap insan, jika ada yang ingat Allah maka si syaitan sembunyi ketakutan. sepertinya pikiran kita tak pernah kosong, jika kita tidak ingat Allah, m