Langsung ke konten utama

Sederhana Mencintaimu



Aku Ingin Mencintaimu dengan sederhana
Dengan kata yang tak sempat diucapkan kayu kepada api yang menjadikannya abu
Aku ingin mencintaimu dengan sederhana
Dengan isyarat yang tak pernah disampaikan  awan kepada hujan yang menjadikannya tiada
-Sapardi Djoko damono-

saya tidak tahu kenapa Sapardi menulis puisi itu. Entah karena ia sedang jatuh cinta atau mungkin ia justru sedang patah hati. Entahlah, mungkin hanya Sapardi yang tahu. Tapi setidaknya puisi itu mewakili perasaan kita semua. Bahwa yang kita rindu justru kesederhanaan. Bukan kerumitan. Kerumitan yang ada sekarang ini, dalam dunia Filsafat misalnya, adalah karena ulah manusia sendiri yang mempersulit diri.  

Tema besar kita sekarang ini, seperti juga tema dalam puisi itu adalah tentang cinta jiwa. Tentang kebutuhan kita akan kegenapan. Sebab semua yang dicipta memang sudah berpasang-pasangan: Gerhana dan purnama, malam dan siang, badai dan pelangi, laki-laki dan wanita. Maka jiwa kita juga rindu hal seperti itu. Jiwa kita rindu akan kegenapan. Tapi, sekali lagi, itu semua sebenarnya sederhana. Dan jiwa kita adalah jiwa-jiwa rumit yang sederhana.

Lupakan dulu kisah Layla dan Qais, Zainudin dan Hayati, atau Hamid dan Zainab. Lupakan itu semua. Kisah-kisah itu terlalu melankolik. Padahal kisah cinta kita selamanya adalah sederhana. Yang membuatnya rumit adalah kita sendiri. Cinta kita bukan lagi kisah rumit, dibuat-buat  dan berputar-putar seperti di sinetron atau telenovela. Bukan seperti itu. Bukan pula kisah Raja dengan Permainsuri. Bukan pula kisah pangeran dan puteri.  Kisah cinta seperti itu memang menarik, penuh dilema, dramatisasi, dan sandiwara. Tapi sama sekali tidak realistis. Kisah cinta kita hanyalah tentang perempuan dan laki-laki. Hanya itu. Cukup.

Kisah cinta kita, seperti kata Sapardi, adalah sederhana. Terlalu naif jika kita mengandaikannya seperti Laut dengan langit. Atau seperti api dan panas, salju dengan dingin, atau sungai dengan arus. Terlalu didramatisir saya kira. Kisah cinta kita, sekali lagi, adalah sederhana. Sebab cinta kita, seperti kata Anis Matta, adalah selamanya memberi. Maka jika suatu ketika cinta kita tertolak, itu hanyalah kesempatan memberi yang lewat. Disini, cinta kita  tidak seperti Romeo yang mesti dengan Juliet, Qais yang mesti dengan Layla, atau Zainuddin yang mesti dengan Hayati. Maka cinta kita disini tidak akan membuat kita galau, tertekan, merana atau bahkan bunuh diri. Tidak ada cerita sambung putus. tidak ada lagi lagu-lagu mellow. Tidak ada lagi kisah sedih di hari minggu. 

Cinta kita disini tidak terikat objek. Kita bisa mencintai siapaun, sebab tujuan kita mencintai adalah memberi. Tak peduli siapapun yang menerima. Maka jika mereka berjuang keras untuk menikahi orang yang mereka cintai, disini kita jadi lebih realistis sebab kita memiliki pilihan yang kedua: mencintai orang yang kita nikahi. Jadi lebih sederhana, bukan?


Jika hari ini kita  merasa  bahwa menjadi sederhana adalah terlalu rumit. Mungkin karena kita terbiasa dengan kerumitan-kerumitan yang kita buat sendiri. Maka jadilah kita mahluk yang melankolik. Kita jadi lemah disini. Padahal Pada dasarnya, cinta kita adalah sederhana. Berarti mencintai juga sederhana. Sesederhana, seperti kata Sapardi, kayu dan api.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Orang-Orang Romantis

ilustrasi:fiksi.kompasiana.com Aku selalu kagum pada mereka: orang-orang romantis. Mereka selalu bekerja dengan sepenuh cinta. Dengan segenap kesadaran. Boleh jadi mereka berpeluh, tapi pantang mengeluh. Memang mereka lelah, tapi tak kenal patah. Dan sesekali mereka berhenti, untuk sekedar menyeka keringat. Untuk sekedar menutup luka. lalu dengan nanar mereka menengadah menatap langit. seketika itu mereka teringat akan tujuan mereka, Cita-cita dan mimpi-mimpi mereka. saat itulah kerinduan mereka mendayu-dayu. menyala-nyala. Tapi mereka tidak terbuai, setelah itu mereka segera menggulung kembali lengan bajunya untuk meneruskan langkah yang sempat tertunda..... Senja, 17 Januari 2012     Pendaki Langit

Surat Untukmu, Bidadariku...

Dari Syubhan Triyatna, dengan sepenuh rindu, untukmu, seseorang yang telah Allah tuliskan dalam takdirNya.... Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh... Jangan kau tanya kenapa aku tulis surat ini yang bahkan aku sendiri bingung kemana harus mengalamatkannya. Surat ini kutujukan untukmu, yang aku sendiri belum tahu namamu, Tapi Ia tahu. Aku tak tahu apakah kau juga gelisah sama sepertiku, mengarungi detik demi detik masa muda itu ternyata tak semudah melewati jalan tol. Ia lebih mirip seperti mengarungi samudera. Gelombang maksiat menghantam dari segala sisi, kapalku pun sering oleng. Kemudian aku hanya ingin mencari dermaga, aku hanya ingin berlabuh. Lepas dari gelombang maksiat yang siap karamkan kapalku. Aku hanya ingin berlabuh sebelum aku tenggelam, dan dermaga itu adalah kamu, bidadariku....

Cara Kita Membaca BBM

"Semoga saja kemampuan kita membaca realita adalah tidak lebih rendah dari kemampuan kita membaca berita atau buku cerita..." Semenjak mendengar kabar tadi malam tentang harga BBM yang jadi naik. Seperti yang diberitakan Republika (17/6), Paripurna DPR sahkan RUU APBN Perubahan Lewat Voting. Artinya BBM sudah dipastikan naik. Saya jadi tak berselera lagi -yang memang sebelumnya juga sudah tidak ada- untuk membaca slide-slide dan diktat kuliah itu. Padahal pekan ini adalah pekan ujian, yang katanya berpengaruh hidup-mati bagi mahasiswa. Diktat-diktat itu berisi teori-teori yang tidak terlalu jelas kemana muaranya. Tidak terlalu jelas bagaimana penerapannya. Hanya sebagai syarat mendapat huruf-huruf mutu itu yang katanya akan berguna saat kita mencari kerja. Ia aja deh .