Beberapa waktu
lalu, bersama kawan-kawan rencannya akan pergi rihlah ke suatu tempat di Bogor. Dari dramaga kami menyewa 2 angkot
jurusan Ciampea-laladon. Sesampai di jalan sebelum pertigaan arah ke BTM
tiba-tiba angkot yang kami tumpangi berhenti. Sama halnya dengan
kendaraan-kendaraan lainnya. Tapi berhentinya benar-benar berhenti dan tidak
bergerak. Tidak biasanya macet seperti ini, kata Pak sopir. Selama hampir 30 menit
hanya bergerak beberapa depa. Akhirnya kami putuskan untuk berjalan saja sampai
di jalan yang tidak terjadi kemacetan. Kami berjalan sampai pertigaan di depan
dan ....Ternyata ini dia penyebabnya. Di pertigaan itu mobil dan motor tidak bisa bergerak maju apalagi mundur. “Terkunci”.
Dari sebelah utara motor mengambil jatah
jalan sebelah kanan, begitu juga dari arah timur dan barat. Jadilah kendaraan
disitu tidak bisa maju apalagi mundur. Dan yang terdengar hanyalah
klakson-klakson bersahutan dan ocehan para pengendaranya. “Ini gara-gara
motornya kebanyakan pak”, Kata bapak-bapak ketika ditanya mengapa kemacetan ini
sampai terjadi.
Bak
inspektur Vijay di Film-film india yang dulu sering saya lihat. Inspektur Vijay
selalu saja datang di saat-saat akhir pertempuran. Selalu saja datang di
saat-saat genting di akhir durasi Film. Seperti itulah Polisi lalu lintas di
tempat itu, baru muncul ketika kemacetan demikian parah. Tapi terlambat. Sangat
terlambat. Semoga Pak Polisi berhasil mengurai kesemrawutan itu.
Mungkin
begitulah –setidaknya- yang saya rasakan di jalan dakwah yang sama-sama kita
lalui ini. “Dakwah”, Kata Ust Rahmat Abdullah, “dikenal jalannya panjang, hambatannya
banyak dan Tokoh pendukungnya sedikit”. Jika saja diri ini diizinkan sedikit
lancang, saya ingin menambahkan bahwa jalan dakwah ini ternyata juga macet.
Tidak seperti jalan tol yang lancar teratur. Bukan jalan protokoler yang mulus.
Jalan Dakwah terkadang atau seringkali mengalami kemacetan di beberapa ruasnya,
utamanya di sekitar persimpangan. Atau
di sekitar pendakian. Penyebabnya bisa jadi adalah diri-diri kita sendiri.
Ada
orang-orang yang futur sembarangan. Berhenti
di tengah jalan. Dia menyangka bahwa kerugian ketika dia berhenti adalah
untuknya sendiri. Padahal ketika kita berhenti, itu akan menghambat arus
kendaraan dari belakang kita. Ini yang bisa jadi penyebab kemacetan di jalan
dakwah. Arus menjadi tersendat. Padahal
jalan ini masih begitu panjang. Tapi tidak selamanya “si futur” itu yang
disalahkan karena berhenti tiba-tiba, kita juga mesti menyalahkan diri kita
pribadi, barangkali kita lupa untuk mengingatkan walau dengan sekedar “klakson”,
atau mungkin dia berhenti karena kehabisan bahan bakar (baca: Energi), maka
kita harus menstransfer energi kita yang berlebih untuknya agar kemacetan di
jalan dakwah bisa dihindari.
Ada
juga orang-orang yang tidak mengindahkan rambu-rambu di jalan dakwah. Larangan “lampu
merah” di tembus. Akhirnya ini malah mengacaukan kelancaran di jalan dakwah.
Atau bahkan tidak menghiraukan kecepatan maksimum dan minimum di jalan dakwah. Jadilah
dia ugal-ugalan yang sangat membahayakan pengguna jalan yang lain. Dia ingin
lebih cepat sampai ketujuan. Ini bisa saja menyebabkan kecelakaan di jalan
dakwah yang kemudian menyebkan kemacetan yang tentu parah. Sebab, dijalan ini
kita berjamaah. Maka, amat berbahaya jika ada kader dakwah yang terlalu cepat
sampai pada tingkat ugal-ugalan atau terlalu lambat sampai pada tingkat
malas-malasan. Semuanya bisa menyebabkan kemacetan.
Akhirnya,
kita mesti menyadari (lagi), bahwa di jalan dakwah ini kita bersama-sama melaju
menuju tujuan yang sama. Maka setiap sikap kita tentu akan mempengaruhi yang
lain. Jangan dikira ketika kita berhenti mogok tidak akan terjadi apa-apa, itu akan
menyebabkan kemacetan yang kemudian menghambat kita sampai ke tujuan. Sudah semestinya
di jalan ini kita melaju dengan mematuhi rambu-rambu yang ada. Seiring seirama
melaju menuju cahaya.
“Sesungguhnya Allah menyukai orang yang berperang dijalan-Nya dalam barisan yang teratur seakan-akan mereka seperti suatu bangunan yang tersusun kokoh”
-TQS. Ash Shaaf: 4-
Komentar