Langsung ke konten utama

Menatap Akhwat-pun Aku Tak Mampu


Saya hendak bercerita padamu, maka tolong dengarkan baik-baik. Alkisah, seorang pemuda amat kesulitan menjelaskan gejolak perasaannya sendiri. Gemuruh hatinya sendiri. Kadang ia tenang bagai permukaan danau. Kadang pula ia berkecamuk bagai badai di laut lepas. Kadan ia membara seperti lava di jantung gunung berapi. Atau terkadang ia dingin sebeku es di kutub utara. Seringkali ia lapang seluas sahara, kadangkala ia sempit sesesak sel di penjara.

Suatu ketika di sebuah kereta, pemuda itu duduk berhadapan dengan sepasang muda-mudi. Nampaknya belum lama mereka menikah, mungkin 1 sampai 2 tahun yang lalu. Bersama buah hati mereka yang nampaknya belum lama juga lahir. Bayi itu tertidur pulas dipangkuan ibunya, lucu sekali. Maka tiba-tiba ada perasaan sesak yang menjalar sampai ke ulu hati. Menekan dalam-dalam perasaannya. Lagi-lagi, ia kesulitan untuk menjelaskan perasaannya kala itu.

Atau ketika pemuda itu dikejutkan dengan selembar undangan dari seorang kawan lamanya. Bahwa sepekan lagi ia akan melengkapi separuh agamanya yang lain. betapa bahagianya ia mendengarkan kabar itu. Dengan hati penuh tulus, pemuda itu menghadiri pernikahan kawannya bahkan sebelum akad nikah dimulai. Meski dengan jarak cukup jauh. Dari bogor ke cirebon. Namun ada yang mengganjal saat acara ijab kabul dimulai. Lagi-lagi, pemuda itu kesulitan untuk menjelaskannya perasaannya. Semacam iri, tapi bukan iri. Baiklah, katakanlah sebuah perasaan “iri” yang sulit dijelaskan. Sejak saat itu ia tidak lagi berselera untuk sekedar bercanda dengan kawan sebaya. Atau main-main gaya anak muda. Apakah ini waktunya?

Maka lalu pemuda itu mencoba untuk meredam kuat-kuat perasaannya. Sebab perasaan seperti itu, pikirnya, tidak mempunyai dasar dan alasan yang terlalu jelas. Atas anjuran Sang Nabi dari hadist yang ia baca, Ia pun berpuasa. Namun ternyata  itu hanyalah solusi sementara. Belum bisa menyelesaikan permasalahannya sepenuhnya.

Lalu atas saran seorang teman dekatnya. Ia menyibukkan diri sesibuk-sibuknya. Sebab ia kira pikiran semacam itu, perasaan seperti itu yang telah sejak lama merebut privasinya adalah hadir kala hati dan pikiran sedang kosong. Namun yang terjadi malah sebaliknya. Di kesibukannya pada organisasi di kampusnya. Ia malah makin tersiksa. Bertemu si kerudung biru atau si jilbab ungu atau si gamis merah jambu. semua itu amat menyita hatinya. Mungkin kamu menganggap pemuda ini galau istilahnya. Tetapi nampaknya tidak demikian . ini adalah perasaan paling jujur dari palung hatinya yang paling dalam. Semacam perasaan murni yang dititipkan dalam fitrahnya. Semenjak saat itu, pemuda itu memohon pada Tuhannya jawaban atas perasaannya itu. Mungkin memang jawabannya sudah ada, namun ia belum mampu membacanya. Jika kau tahu, saya mohon bantulah pemuda itu. Dan saya tidak mau bilang bahwa pemuda itu adalah saya sendiri (eh..). sebab, menatap akhwat pun aku tak mampu...

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Industrialisasi Tarbiyah

Awalnya saya hampir frustasi melihat kondisi proses tarbawi di kampus dewasa ini. Halaqoh yang mulai kering. Agenda mabit, tastqif, dauroh yang mulai sepi peserta. Saya punya keyakinan bahwa ini bukan karena ketidakpedulian kader pada agenda tarbawi. Tetapi karena kader tidak mampu untuk mengelola tekanan dari kampus khususnya. Tekanan atmosfer akademik beberapa tahun terakhir semakin tinggi. Sehingga waktu untuk agenda pendukung t arbawi kehilangan alokasinya yang cukup. Efektivitas-Efisiensi Apa yang menyebabkan daging ikan patin dari sungai Mekong Vietnam lebih murah dari Patin Jambal Indonesia? Jawabannya adalah karena Efektivitas-Efisiensi industri patin di vietnam lebih tinggi. Semua rantai produksi dipadatkan di sungai mekong. Dari pabrik pakan, keramba budidaya, sampai pabrik olahan patin semua di satu lokasi tepi sungai mekong. Sehingga biaya produksi bisa ditekan dan produktifitas naik. Hal ini juga yang bisa menjawab kenapa industri rumahan kalah bersaing dengan

Buat Ananda

Dakilah gunung tinggi manapun yang ananda damba: Mahameru, Kalimanjaro, atau Himalaya. Sampai suatu saat, ananda kan temukan puncak tertinggi itu justru saat kening ananda menyentuh tanah tempat kaki ananda berpijak, meski itu tempat paling rendah di muka bumi...

Satu Malam Lebih Dekat (Dengan Al-Qur'an)

ilustrasi:kamifa.gamais.itb.ac.id Ust. Dedi Mulyono, tadi malam sampai berapi-api di Ruang Abu Bakar menyampaikan tentang Ruhiyah. Mari saya ceritakan. Tema mabit tadi malam adalah "Satu Malam Lebih Dekat (Dengan Al-Qur'an)". Diawali dengan tilawah keroyokan hingga pukul 9.00. Awalnya Ust. Dedi memulai kalem, lalu kami dikagetkan dengan pancaran energinya yang ia Obral ke setiap ya ng hadir. Ia awali dengan surah Al Hasyr ayat 19,"Dan janganlah kamu seperti orang-orang yang lupa kepada Allah. sehingga Allah membuat mereka lupa terhadap diri sendiri. Merekalah Orang-orang fasik." Inilah urgensi Ruhiah. Jika kita lupa kepada Allah dengan meninggalkan amalan-amalan ruhiyah, hakikatnya kita lupa pada diri sendiri. Melupakan Allah adalah melupakan diri, begitu singkatnya. Karena syaitan selalu ada dalam hati setiap insan, jika ada yang ingat Allah maka si syaitan sembunyi ketakutan. sepertinya pikiran kita tak pernah kosong, jika kita tidak ingat Allah, m