Langsung ke konten utama

Redefining Ukhuwah

"Sebab ukhuwah bukanlah menyatukan Puzzle-puzzle menjadi susunan yang utuh. Bukan pula menempel kertas demi kertas  menjadi layang-layang. Tapi adalah dengan jarum, menjahit kain demi kain perca menjadi sebuah busana berkilau cahaya..."
Bersiaplah kecewa bagi ia yang mengira bahwa ukhuwah ini selamanya indah. Saling memahami. Saling mendahulukan. Saling mencintai. Saling memberi. Bersiaplah sakit hati bagi ia yang berharap ukhuwah selamanya madu murni. Tanpa pahit. Seluruhnya manis. Memang benar ukhuwah itu indah. Manis. Namun tidak selamanya.  Namun itu idealnya. Dan kita bukanlah manusia-manusia ideal dalam suatu tempat dan waktu yang ideal. Maka saat ini bersikap realistis sangat diperlukan. Seperti kata banyak orang, kita bukanlah kumpulan para malaikat. Maka dari itu mari mendefinisikan kembali makna dari ukhuwah kita.

Kadang kita terbuai dengan kisah Saad Bin Ar Rabi yang asli penduduk pribumi madinah kala itu yang dengan begitu murah hati membagi miliknya menjadi dua untuk saudaranya yang baru hijrah dari makkah, Abdurrahman Bin Auf. Kebun, Rumah bahkan Isterinya yang jumlahnya dua hendak dibagi untuk Abdurrahman. Atau kisah Salman Al Farisy yang merelakan pinangannya untuk Abu Darda bahkan sampai membiayai mas kawin dan acara walimahnya.

Namun di satu sisi kita melupakan kisah Aisyah dan Ali Bin Abi Thalib yang terpaksa berhadapan dalam perang Jamal. Atau ketika Aisyah membanting piring berisi makanan dari Saudah karena cemburu. atau ketika Abu Dzar menghina Bilal Bin Rabah sebagai budak hitam. Atau antara Umar Bin Khatab dan saudara se klan nya Khalid Bin walid. Ketika Umar tiba-tiba memecat Khalid di suatu peperangan. Begitulah Ukhuwah, seperti Iman, ia pun naik dan turun.

Sebab ukhuwah bukanlah menyatukan Puzzle-puzzle menjadi susunan yang utuh. Bukan pula menempel kertas demi kertas  menjadi layang-layang. Tapi adalah dengan jarum menjahit kain demi kain perca menjadi sebuah busana berkilau cahaya. Dan dalam proses menjahit itulah, kadang terjadi saling tusuk. Saling menyakiti. yang memang sakit dan tentu pedih. Namun ini semua demi suatu tujuan: membentuk sebuah busana yang indah pada akhirnya.

Begitupun dalam ukhuwah kita hari ini. Ada kalanya kita merasa dizalimi. Tergores hati kita. Atau mungkin terkadang merasa disakiti raga kita. Atau tidak jarang juga kitalah yang menyederai hatinya. Begitulah ukhuwah mengajarkan pada kita. Sebab ukhuwah bukanlah bumbu tunggal, tapi ia adalah suatu masakan. Mungkin didalamnya ada pedas cabai, asam cuka, manis gula, asin garam. Namun itu semua menyatu dalam suatu masakan yang nikmat. Jadi, bila kita tersakiti oleh saudara kita ini dalam ukhuwah kita ini janganlah kau pergi keluar dari barisan ini. Tapi nikmatilah, anggap saja itu adalah bumbu penyedap rasa. Apa jadinya masakan tanpa cabai? Hambar bukan?!

Ukhuwah bukanlah langit biru. Tanpa mendung. Tanpa awan gelap. Tapi ia adalah pelangi. Mungkin diawali angin badai. Gelegar guntur. Namun ia akan berakhir indah. Percayalah. Sebab ukhuwah adalah lukisan, bertabur warna didalamnya. Mungkin pada mulanya kita tidak faham, mengapa mesti ada hitam, kuning, biru, hijau di ukhuwah ini. Namun pada akhirnya ia akan jadi lukisan yang tinggi harganya. Maka, saat kita kadang tidak nyaman dalam ukhuwah ini. Bersabarlah....tetaplah membersamainya. Sebab ini hanya tengah proses menuju lukisan yang tinggi harganya.

Akhirnya, Ingin rasanya kukatakan pada saudaraku dalam ukhuwah ini: Akhi, maafkan bila senyumku tak sanggup selalu manis padamu, sapaku tak bisa senantiasa hangat untuknmu, sikapku tak dapat selalu sempurna saat jumpa denganmu, namun percayalah, hati ini selalu mencintaimu, karena Allah Ta’ala. . . .

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Industrialisasi Tarbiyah

Awalnya saya hampir frustasi melihat kondisi proses tarbawi di kampus dewasa ini. Halaqoh yang mulai kering. Agenda mabit, tastqif, dauroh yang mulai sepi peserta. Saya punya keyakinan bahwa ini bukan karena ketidakpedulian kader pada agenda tarbawi. Tetapi karena kader tidak mampu untuk mengelola tekanan dari kampus khususnya. Tekanan atmosfer akademik beberapa tahun terakhir semakin tinggi. Sehingga waktu untuk agenda pendukung t arbawi kehilangan alokasinya yang cukup. Efektivitas-Efisiensi Apa yang menyebabkan daging ikan patin dari sungai Mekong Vietnam lebih murah dari Patin Jambal Indonesia? Jawabannya adalah karena Efektivitas-Efisiensi industri patin di vietnam lebih tinggi. Semua rantai produksi dipadatkan di sungai mekong. Dari pabrik pakan, keramba budidaya, sampai pabrik olahan patin semua di satu lokasi tepi sungai mekong. Sehingga biaya produksi bisa ditekan dan produktifitas naik. Hal ini juga yang bisa menjawab kenapa industri rumahan kalah bersaing dengan

Buat Ananda

Dakilah gunung tinggi manapun yang ananda damba: Mahameru, Kalimanjaro, atau Himalaya. Sampai suatu saat, ananda kan temukan puncak tertinggi itu justru saat kening ananda menyentuh tanah tempat kaki ananda berpijak, meski itu tempat paling rendah di muka bumi...

Satu Malam Lebih Dekat (Dengan Al-Qur'an)

ilustrasi:kamifa.gamais.itb.ac.id Ust. Dedi Mulyono, tadi malam sampai berapi-api di Ruang Abu Bakar menyampaikan tentang Ruhiyah. Mari saya ceritakan. Tema mabit tadi malam adalah "Satu Malam Lebih Dekat (Dengan Al-Qur'an)". Diawali dengan tilawah keroyokan hingga pukul 9.00. Awalnya Ust. Dedi memulai kalem, lalu kami dikagetkan dengan pancaran energinya yang ia Obral ke setiap ya ng hadir. Ia awali dengan surah Al Hasyr ayat 19,"Dan janganlah kamu seperti orang-orang yang lupa kepada Allah. sehingga Allah membuat mereka lupa terhadap diri sendiri. Merekalah Orang-orang fasik." Inilah urgensi Ruhiah. Jika kita lupa kepada Allah dengan meninggalkan amalan-amalan ruhiyah, hakikatnya kita lupa pada diri sendiri. Melupakan Allah adalah melupakan diri, begitu singkatnya. Karena syaitan selalu ada dalam hati setiap insan, jika ada yang ingat Allah maka si syaitan sembunyi ketakutan. sepertinya pikiran kita tak pernah kosong, jika kita tidak ingat Allah, m