ilustrasi: qousa.wordpress.com |
Ini adalah cerita tentang salah satu sahabat terbaik saya. Bermula ketika dia berulang tahun. Tapi, saya melihat ada rona kegundahan di wajahnya. Memang kami jarang sekali bicara. Kami lebih sering saling diam. Tapi kami sama-sama tahu: hati kami saling bicara. Lalu saya memberanikan diri untuk berkata padanya, bukan ungkapan selamat ulang tahun, tapi tepatnya ungkapan duka. "Akh, saya turut berduka atas berkurangnya umur antum tepat satu tahun. Semoga sisa umur antum adalah hari-hari terbaik dan terindah dalam hidup antum. Dengan segenap kesadaran. Dengan sepenuh keberkahan"
"Amiin, Jazaakallah Khairon katsir"katanya,"Ana minta bimbingan dan nasehat antum, akh. Hidup ini belum juga terasa ringan".
Dan kalimat itulah yang membuat saya bingung. Dia yang prestasinya jauh di atas saya. Yang hapalan Qurannya jauh di depan saya. Lalu mengapa dia berkata seperti itu ?!
"Saya hanya musafir yang kebingungan di tengah lembah" jawab saya,"bagaimana mungkin saya tunjukkan arah angin?!".
"Tapi" lanjut saya,"kita bisa bersama-sama mencari jalan pulang".
Lalu dia menjawab dengan jawaban yang benar-benar berbekas.
"Tapi, sebelum terdengar seruan pulang, alangkah indahnya jika kita daki dulu gunung bersama-sama" Ajaknya.
"Tak apa sekarang kita di lembah" lanjutnya,"dan tak tahu arah mata angin. Tapi sesungguhnya karena kita di lembahlah kita bisa melihat puncak gunung itu. Ana butuh tarikanmu ketika ana tertinggal di belakang. Ana juga butuh doronganmu ketika ana tertegun terbuai oleh indahnya pemandangan lembah yang terlihat dari gunung."
Lalu dia menjawab dengan jawaban yang benar-benar berbekas.
"Tapi, sebelum terdengar seruan pulang, alangkah indahnya jika kita daki dulu gunung bersama-sama" Ajaknya.
"Tak apa sekarang kita di lembah" lanjutnya,"dan tak tahu arah mata angin. Tapi sesungguhnya karena kita di lembahlah kita bisa melihat puncak gunung itu. Ana butuh tarikanmu ketika ana tertinggal di belakang. Ana juga butuh doronganmu ketika ana tertegun terbuai oleh indahnya pemandangan lembah yang terlihat dari gunung."
"Oke" kata saya menimpali,"sebelum pulang mari kita daki dulu gunung tertinggi. Sampai puncak !"
"Semoga Allah tunjukkan jalan terindah menuju puncak itu." ujarnya menutup dialog kami.
Sepenggal dialog itu akan saya simpan dalam-dalam. Meski sederhana, tapi amat berbekas. Meski singkat, tapi saya yakin Allah mendengarnya. Allah memberkahimu, Sahabat.
Pagi, 19 Januari 2012
Pendaki Langit
Pendaki Langit
Komentar
Saya juga suka kalimat ini --> "Tak apa sekarang kita di lembah" lanjutnya,"dan tak tahu arah mata angin. Tapi sesungguhnya karena kita di lembahlah kita bisa melihat puncak gunung itu. Ana butuh tarikanmu ketika ana tertinggal di belakang. Ana juga butuh doronganmu ketika ana tertegun terbuai oleh indahnya pemandangan lembah yang terlihat dari gunung."
^^
sangat menginspirasi dan berbekas.
semakin semangat untuk mengadakan resolusi 2012