Tidak harus selalu kau...
Aku hanya malu jika nanti menghadap Tuhanku
Dalam keadaan masih membujang
.......
Berbicara tentang nikah-menikah memang tidak akan selesai tujuh hari tujuh malam. Karena ini tentang cinta yang diperbincangkan orang sepanjang zaman. Maka abadilah Taj Mahal yang dibangun dengan pondasi cinta Syah Jehan untuk isterinya terkasih. Tapi izinkan saya sedikit berbicara tentang pra nikah dan persiapannya. Tentang apa-apa yang mesti kita siapkan matang-matang sebelum janur kuning di ujung jalan itu melengkung.
Yang pertama dan utama adalah persiapan ruhiyah atau spiritual. Pun tidak hanya di pra nikah, dalam hal apapun ruhiyah ini menjadi list teratas prioritas. Terlebih dalam hal ini. Ruhiyah ini jika baik maka pilar-pilar persiapan yang lainpun akan turut baik, pun sebaliknya. Mari simak apa yang dilakukan Rasullallah saat istrinya, Aisyah, menumpahkan piring berisi makanan yang disuguhkan Saudah yang juga isteri Rasullallah pada para sahabat di rumahnya. Tentunya cemburu yang melatari Aisyah berbuat demikian. Seandainya kita yang tertimpa kejadian memalukan ini, kita mungkin akan membela harga diri kita dengan memarahi habis-habisan isteri kita karena perbuatan "bodoh"nya itu. Tapi tidak demikian dengan Sang Nabi.
Sambil menunduk senyum,beliau berseloroh santai, "Lihat, Ibu kalian sedang cemburu...". Masalah pun selesai. Sederhana kan? Begitulah efek dari ruhiyah yang baik. Mampu mengembalikan hati pada posisi yang stabil saat keadaan bagaimanapun.
Di posisi dua adalah tentang kesiapan Tsaqofiyah atau pemahaman. Ilmu menjadikan menikah tetap pada rel-nya. Mengurangi resiko tergelincir. Ilmu menjadikan kita mampu menyikapi pasangan dengan sikap yang tepat sesuai dengan kondisi pasangannya masing-masing. Karena setiap orang membutuhkan penyikapan yang berbeda sama sekali. Misal ketika seorang mendapat masalah yang amat berat. Reaksi pertama wanita biasanya menangis lalu curhat sedalam-dalamnya. Maka sang suami perlu menyikapi istrinya bukan hanya dengan menyeka air matanya, tapi juga bersedia mendengarkan masalahnya. Bukan menyuruh Isterinya menghetikan tangis. Maka Suami yang baik bukanlah yang hanya mampu menyeka air mata isterinya, tapi yang mampu menyediakan bahu untuk tempat bersandar Istrinya yang menangis. Tentu beda halnya jika itu terjadi pada laki-laki atau suami. Itulah ilmu. Membuat kita mampu menyikapi sesuatu dengan tepat.
Yang ketiga adalah persiapan jasadiyah. Persiapan tentang fisik dan kesehatan kita. Ini penting. Setelah menikah energi kita akan lebih terkuras dari biasanya. Kita akan dibebani kewajiban tambahan melebihi kewajiban kita saat ini. Kita sangat mungkin akan kelelahan jika persiapan tidak maksimal. Kewajiban-kewajiban mendatang akan menguras seluruh keringat kita. Maka Jasadiyah memiliki perannya disini.
Maaliyah. Inilah yang biasanya menjadi dilema dalam melangkah menuju pernikahan: Penghasilan. Imam Asy Syafii menganngap laki-laki setelah baligh harus memenuhi kebutuhannya sendiri. Orang tuapun terlepas kewajiban memberi nafkah pada anak laki-lakinya yang sudah baligh. Berbeda lagi dengan wanita. Biasanya orang tua terlepas memberi nafkah pada putrinya sampai ia menikah. Maaliyah atau penghasilan mesti diusahakan dari kini. Sesegera mungkin. Bukan hanya untuk menikah, tapi juga memang itu adalah kewajiban kita demi menjaga diri dari meminta-minta.
Ijtimaiyah. persiapan Sosial. Ini menjadi penting agar pernikahan kita, keluarga baru kita tidak hanya berbunga di dalam rumah, tapi juga mampu menebar wangi di masyarakat.
Akhirnya, Menikah bukan hanya soal mau, tapi mampu. Dan mampu itu mesti harus di upayakan sejak sekarang. Bismillah. Mari melangkah.
Ahad, 20 Mei 2012
Pendaki Langit
*Terinspirasi seminar pranikah di IPB yang diisi oleh Ust. Salim A Fillah dan Mba Asma Nadia.
Komentar