Langsung ke konten utama

Bersatu karena Tujuan yang Satu


“Kita tahu bersatu itu perlu. Tapi itulah salah kita, kita hanya sekedar tahu”

Kita semua tahu, bahwa kita bisa maju jika dan hanya jika kita bersatu. Semenjak sekolah dasar dahulu, kita diajarkan oleh guru-guru kita tentang satu hal yang diulang-ulang: sapu lidi. Mungkin kita bosan mendengarnya, tapi ini adalah salah satu pelajaran terpenting dalam proses pendidikan kita.  Lidi –sebagaimana kata guru-guru kita- akan sangat mudah dipatahkan jika hanya satu batang. Namun, jika lidi itu dikumpulkan hingga mencapai seribu atau lebih, maka lidi itu akan berubah menjadi sapu lidi yang bukan hanya sulit untuk dipatahkan tapi juga sangat berguna setidaknya untuk menyapu daun-daun berserakan di halaman depan.

Sejarah perjuangan bangsa Indonesiapun demikian. Pra sumpah pemuda, saat perjuangan merebut kemerdekaan masih masing-masing setiap regional. Bangsa besar ini masih berjuang demi daerahnya masing-masing. Hal ini akibat belum tumbuhnya kesadaran akan makna sebuah bangsa, juga karena berhasilnya politik devide et impera atau politik adu domba ala Belanda. Perjuangan semacam ini juga tidak menghasilkan hal yang signifikan. Namun, ketika ruh kemerdekaan itu mulai tumbuh, pada 28 Oktober 1928 saat para pemuda bersumpah. Peristiwa ini merubah segalanya. Setelah 3 abad lebih berjuang secara parsial dengan hasil yang parsial juga. Namun, setelah peristiwa ini, hanya butuh kurang dari seperempat abad untuk meraih kemerdekaan.
Kita semua tahu. Saya yakin kita semua tahu bahwa bersama itu adalah keharusan. Bhineka tunggal Ika, katanya. Gotong Royong, katanya. Tapi itulah salah kita: kita hanya tahu, tanpa mau merubah kata tahu itu menjadi kata kerja. Kita hanya tahu, dalam sholat misalnya, bahwa berjamaah itu lebih mulia 27 kali. Tapi kita tetap saja lebih senang sholat sendiri-sendiri. Inilah salah kita: kita belum mampu mengendapkan pengetahuan  itu kedalam hati kita untuk kemudian melahirkannya menjadi sebuah gerak nyata.
Begitu juga di Fakultas tercinta kita ini: Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Dimana ada  5 departemen yang berdiri dengan kekhasannya dan tugasnya masing-masing: BDP (Budidaya Perairan), MSP (Manajemen Sumberdaya Perairan), THP (Teknologi Hasil Perairan), PSP (Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan), serta  ITK (Ilmu dan Teknologi Kelautan). Kelima Departemen ini bisa diibaratkan seperti tiang-tiang dalam menyangga sebuah bangunan perikanan Indonesia. Jika salah satu tiang itu roboh, maka akan membuat bangunan itu goyah dan tidak lagi seimbang.

Saat lulusan PSP kesulitan mengembangkan perikanan tangkap maka diperlukan ahli teknologi dari ITK untuk mengembangkan teknologi baru yang mempermudah pekerjaan mereka sekaligus meningkatkan produksi. Begitupun dengan BDP yang fokus memproduksi membutuhkan ahli pengolahan dari THP untuk menambah nilai tambah bagi hasil produksinya. Saat BDP dan PSP sibuk memproduksi secara intensif maka disinilah peran ahli Lingkungan dari MSP untuk menjaga agar produksi berkelanjutan dan tidak merusak lingkungan. Begitulah, kerjasama dan integrasi adalah keniscayaan.
Jika kita jeli melihat kondisi mahasiswa FPIK IPB saat ini, maka kita akan sampai pada satu kesimpulan bahwa semakin hari kerekatan antar mahasiswa saja sudah sedemikian luntur apalagi antar departemen. Dulu, ketika OMBAK atau masa orientasi mahasiswa FPIK, diajarkan tentang konsep kebersamaan dan harmoni antara seluruh elemen di FPIK. Tidak ada yang merasa lebih tinggi atau lebih penting diantara satu dengan yang lainya. Semua ajaran itu terkristal pada jargon FPIK: Jangkar! Satu IPB satu Perikanan Ilmu Kelautan. Mirip sumpah pemuda, bukan? Mungkin lebih tepatnya sumpah pemuda perikanan. Namun, seiring berjalannya waktu ajaran itu mulai luntur sedikit demi sedikit. Hingga akhirnya setiap mahasiswa begitu fanatik pada departemennya masing-masing. lalu mulai merasa superior dari yang lain. Pada Porikan (Pekan Olah Raga Perikanan) misalnya, sadar atau tidak sadar disetiap yel-yel mendukung departemennya masing-masing terselip rasa fanatik berlebih pada departemennya sendiri dan merendahkan departemen yang lain. Padahal kita tahu, Kerjasama yang baik dan integrasi tidak akan terwujud jika 2 rasa ini masih ada: fanatik terhadap diri sendiri dan merendahkan yang lain.
Solusi atas semua permasalahan ini sebenarnya sudah jelas. Sejelas sinar matahari di siang hari. Sebab kebersamaan adalah fitrah yang sudah melekat dalam diri manusia sejak ia dilahirkan. Atau barangkali sudah terdapat dalam gen setiap orang. Namun kadang “gen kebersamaan” itu tertutupi oleh sikap kita sehari-hari yang semakin individual dan egois. Permasalahan ini merata di semua bidang kehidupan dewasa ini. Maka ini adalah masalah kompleks yang butuh solusi yang menyeluruh, bukan parsial.
Solusi yang paling mendasar untuk mensinergikan mahasiswa FPIK keseluruhan adalah membangun kembali kesadaran akan tujuan bersama. Tujuan yang bukan hanya milik BDP atau ITK. Dalam hal ini adalah tujuan perikanan Indonesia. Kesadaran akan besarnya tujuan akan melahirkan kerja-kerja yang juga besar. Dan kerja-kerja besar pasti menuntut pelakunya untuk bersinergi dan bekerjasama dengan yang lain. sebab kerja-kerja besar membutuhkan energi yang sama besarnya dan energi besar tidak didapat dari keringat satu orang.
Visi pembangunan perikanan setidaknya sampai 2014 menurut Kementrian Kelautan dan Perikanan adalah pembangunan kelautan dan perikanan yang Berdaya saing dan berkelanjutan untuk kesejahteraan masyarakat. Ini adalah tujuan besar yang membutuhkan energi yang sama besarnya. Mahasiswa harus diarahkan pada pikiran dan tujuan-tujuan besar itu. Bukan berhenti pada tujuan-tujuan kecil, IPK misalnya. Jika tujuan-tujuan kita kecil maka kita akan mudah bertengkar di tengah jalan menuju tujuan itu.
Akhirnya, biarkanlah mahasiswa berinteraksi langsung dengan masalah-masalah yang ada di masyarakat. Jangan biarkan mereka terpenjara di laboratorium atau ruang kuliah. Kecuali mereka yang memang akan menjadi ilmuan. Tentu tidak semua mahasiswa akan jadi ilmuan. Masih terlalu banyak pos-pos yang belum terisi. Disamping itu ajarkan juga mereka tentang tujuan-tujuan besar perikanan Indonesia hingga akhirnya mereka sadar akan jauhnya tujuan mereka dengan realitas saat ini. Kesadaran akan hal ini akan menumbuhkan kesadaran lain: bahwa satu-satunya cara untuk mempersingkat perjalanan menuju tujuan itu adalah bekerja bersama dengan seluruh potensi yang ada. Maka, akan munculah sebuah pasukan besar dengan mimpi yang juga besar. Lahirlah sinergi. Lahirlah integrasi.



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Orang-Orang Romantis

ilustrasi:fiksi.kompasiana.com Aku selalu kagum pada mereka: orang-orang romantis. Mereka selalu bekerja dengan sepenuh cinta. Dengan segenap kesadaran. Boleh jadi mereka berpeluh, tapi pantang mengeluh. Memang mereka lelah, tapi tak kenal patah. Dan sesekali mereka berhenti, untuk sekedar menyeka keringat. Untuk sekedar menutup luka. lalu dengan nanar mereka menengadah menatap langit. seketika itu mereka teringat akan tujuan mereka, Cita-cita dan mimpi-mimpi mereka. saat itulah kerinduan mereka mendayu-dayu. menyala-nyala. Tapi mereka tidak terbuai, setelah itu mereka segera menggulung kembali lengan bajunya untuk meneruskan langkah yang sempat tertunda..... Senja, 17 Januari 2012     Pendaki Langit

Surat Untukmu, Bidadariku...

Dari Syubhan Triyatna, dengan sepenuh rindu, untukmu, seseorang yang telah Allah tuliskan dalam takdirNya.... Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh... Jangan kau tanya kenapa aku tulis surat ini yang bahkan aku sendiri bingung kemana harus mengalamatkannya. Surat ini kutujukan untukmu, yang aku sendiri belum tahu namamu, Tapi Ia tahu. Aku tak tahu apakah kau juga gelisah sama sepertiku, mengarungi detik demi detik masa muda itu ternyata tak semudah melewati jalan tol. Ia lebih mirip seperti mengarungi samudera. Gelombang maksiat menghantam dari segala sisi, kapalku pun sering oleng. Kemudian aku hanya ingin mencari dermaga, aku hanya ingin berlabuh. Lepas dari gelombang maksiat yang siap karamkan kapalku. Aku hanya ingin berlabuh sebelum aku tenggelam, dan dermaga itu adalah kamu, bidadariku....

Cara Kita Membaca BBM

"Semoga saja kemampuan kita membaca realita adalah tidak lebih rendah dari kemampuan kita membaca berita atau buku cerita..." Semenjak mendengar kabar tadi malam tentang harga BBM yang jadi naik. Seperti yang diberitakan Republika (17/6), Paripurna DPR sahkan RUU APBN Perubahan Lewat Voting. Artinya BBM sudah dipastikan naik. Saya jadi tak berselera lagi -yang memang sebelumnya juga sudah tidak ada- untuk membaca slide-slide dan diktat kuliah itu. Padahal pekan ini adalah pekan ujian, yang katanya berpengaruh hidup-mati bagi mahasiswa. Diktat-diktat itu berisi teori-teori yang tidak terlalu jelas kemana muaranya. Tidak terlalu jelas bagaimana penerapannya. Hanya sebagai syarat mendapat huruf-huruf mutu itu yang katanya akan berguna saat kita mencari kerja. Ia aja deh .