Setiap
orang punya cerita. Dan setiap cerita pasti ada hikmah yang barangkali terselip
didalamnya atau tertindih dibawahnya. Segelap apapun cerita di laut dalam,
mesti ada satu dua mutiara. Dan izinkanlah kawan, kali ini saja saya bercerita.
Bukan apa-apa, hanya ingin berbagi. Tentu saja lain waktu kami juga ingin
mendengar ceritamu. Dan kami akan berusaha menjadi sebaik-baik pendengar.
Cerita ini memang tidak seheboh
kisah Ramayana. Tidak se-mellow Kisah
Zainuddin dan Hayati di Roman Tenggelamnya
Kapal Van Der Wijk. Atau tidak juga se-keren Catatan Si Boy. Hanya kisah
sederhana yang dialami. Bagaimanapun juga ini kenang-kenangan hidup yang sayang
rasanya jika harus dilupakan begitu saja.
Kisah ini bermula di tempat tidur.
Waktu itu saya terbaring lemah di tempat tidur berhari-hari bahkan sampai
berminggu-minggu. Kata Dokter –Lebih tepatnya mantri di puskesmas keliling
setiap kamis pagi di balai desa-, ini akibat virus Salmonela tyfosa yang sebabkan penyakit Tipes dan akibatkan tubuh
tidak sempurna menyerap sari makanan sehingga lemas sepanjang waktu. Namun
sebenarnya saya tahu, bukan itulah penyebab utama sakit ini. Ada penyebab lain
yang akan saya ceritakan sesaat lagi. (iklan
dulu ya, saya istirahat dulu nulisnya..)
Sakit itu sebenarnya puncak frustasi.
Akumulasi dari stresor-stresor yang berkumpul jadi stres akut dan berubah jadi
penyakit. Saya tidak faham bagaimana proses kimiawinya. Sebenarnya masalahnya
tidak besar-besar amat. Hanya waktu
itu jiwa saya lah yang terlalu kerdil. Memang, jika jiwa kita besar masalah
sebesar apapun akan terasa kecil. (Pelajaran
hidup no.1, “Jika jiwa kita besar, masalah sebesar apapun akan terasa kecil.
Sebaliknya jika jiwa kita kecil, masalah sekecil apapun akan terasa besar”)
Belum mengenal islam secara benar. Belum tahu apa itu Tarbiyah. Sebenarnya di mushola SMA sering ada pengajian dan
mentoring yang diisi oleh Mahasiswa IAIN yang jenggotan dan Mahasiswi jilbaber
yang sering ke sekolah setiap sabtu sore. Tapi saya lebih senang nongkrong di Kantin belakang sekolah. (Pelajaran hidup no.2, “Makannya Mentoring!”).
Masalah
ini berawal dari sebuah ambisi: ITB!. Pokoknya saya harus masuk ITB. Maka sejak
saat ambisi itu diproklamirkan, saya langsung cari semua informasi tentang
bagaimana cara masuk ke ITB. Juga mencari semua soal-soal tentang ujian masuk
ke ITB. Segala cara akan saya tempuh. Tekad saya waktu itu.
Ternyata kesempatan itu hadir juga.
Sebuah pengumuman Beasiswa Pemerintah Provinsi ke ITB. (pelajaran hidup no.3, “siapa ada kemauan, disitu ada jalan”) Saya
pendaftar pertama di sekolah. Seleksinya sangat ketat dari tingkat sekolah,
kabupaten, hingga Provinsi. Tingkat sekolah berhasil –meski dengan susah payah-
dilewati. Namun sama sekali tidak berkutik ketika seleksi bersama Siswa Sekolah
SSI (Sekolah Standar Internasional). Saya kalah segalanya. Kalah telak, K.O.
Tapi saya katakan pada diri saya, ini waktu yang terlalu dini untuk menyerah. (Pake backsound lagunya d’Massive: Jangan
Menyerah, Jangan menyerah, Jangan menyerah oooho ).
Bohong ternyata orang yang
mengatakan bahwa kesempatan tidak datang 2x. Kesempatan ke-dua menuju ITB itu
datang lagi lewat apa yang saya temukan di internet setelah browsing berjam-jam
(sambil buka pesbuk sih soalnya).
Beasiswa ITB Untuk Semua. Beasiswa ini dari dana abadi yang dikumpulkan dari
alumni ITB. Seleksi pertama adalah seleksi berkas. Seabrek berkas yang harus dikumpulkan dari SKTM, rekomendasi Tokoh,
KK, Rekomendasi kepala Sekolah dan sebagainya. Tapi Alhamdulillah, semua itu dapat diatasi meski dengan memakan banyak
waktu. Dan hari ini adalah hari terakhir pendaftaran. Ternyata Allah
berkehendak lain, di hari terakhir ketika saya hendak mengantar berkas ke POS
saat motor yang saya tumpangi hendak menyalip dari kanan ternyata motor di
depan malah sama-sama belok kanan tanpa menyalakan lampu sen terlebih dahulu. Brakk!!!. Dan kesempatan kedua ini
melayang juga akhirnya.
Pasca
sehat setelah kecelakaan, saya bangkit lagi. Meski dengan semangat yang tinggal
setengah. ITB semakin jauh saja. Tapi ternyata ada lagi kesempatan ke-3 yang
datangnya dari Bimbel Pelajar Islam yang menyediakan Bimbel Gratis untuk menuju
ITB. Namun dengan seleksi terlebih dahulu di seluruh Jawa Barat dan hanya
menerima 50 orang setiap tahunnya. Alhamdulillah,
saya terpilih. Tapi –lagi-lagi ada masalah- Bimbel itu di luar kota tepatnya di
Bandung. Maka saya menginap di kantor PII (Pelajar Islam Indonesia) selama 1,5
bulan. Dan Akhirnya, saya menjadi lulusan terbaik Bimbel tersebut. Dan tibalah
waktu perang itu: SNMPTN Tulis (Kalau
sekarang namanya SNMBPTN ya?). Dikarenakan sudah 5x try out di Bimbel, maka menuju ruang ujian pun dengan kepala tegak (malah kadang senyum-senyum sendiri, sebab
dari ruang ujian bau kampus ITB rasanya sudah tercium..). Tak usah ditanya,
pilihan pertama ya ITB.
Alangkah
kagetnya saya ketika melihat pengumuman di www.snmptn.co.id
bahwa tidak ada nomor ujian saya di prodi ITB. Saya buka berkali-kali, tetap
saja tidak ada. Ini adalah harapan terakhir saya sebab tidak mungkinlah saya
ikut UTM ITB yang biayanya segudang. Lemas saya pulang dari warnet. Sejak saat
itulah saya mulai sakit, apalagi ketika mendengar kawan-kawan saya yang lain
sudah diterima di perguruan tinggi Favorit. Saya benar-benar terpuruk waktu
itu. Hanya menatapi langit-langit di kamar. Mental saya benar-benar hancur.
Hingga suatu hari...
...
Sebuah sms dari Pak Komar masuk, “Asslm. Han, kamu lagi sibuk apa?”.
Sebuah sms dari Pak Komar masuk, “Asslm. Han, kamu lagi sibuk apa?”.
“www. Nganggur pa”, reply saya singkat tanpa gairah sama sekali.
“kebetulan, bisa ke Al Hikmah ga?”
“Ngapain Pa? Besok gimana pa?”
“Udah kesini aja. Saya tunggu sekarang!”
“Siap Pa, Insya Allah”, sebenarnya ini
adalah jawaban terpaksa sebab saya sudah betah di tempat tidur ternyata. Namun
karena tidak enak dengan Pak Komar guru matematika dan kimia saya sejak kelas X
SMA. Beliau juga yang sering mengisi motivasi saat pesantren kilat di Sekolah.
Intinya, beliau adalah guru spiritual saya. (Bukan yang kaya Eyang Subur ya). Beliau pun menjabat sebagai Kepala
Sekolah di SMP Al Hikmah yang terdapat di dalam Pondok Pesantren Tahfidz Qur’an
Terpadu Al Hikmah.
Ternyata
di Al Hikmah saya diminta membantu di SMP. Dari pada menganggur saya pikir.
Saya terima saja tawaran itu. Dan disinilah saya berkenalan dengan tarbiyah
juga orang-orangnya. Berawal dari tugas saya di Tata Usaha, saya dipercaya
mengisi pengayaan UN untuk kelas 9. Saya juga dipercaya untuk menjadi Musrif atau pembimbing asrama Umar Bin
Khatab kelas 8. Tugasnya menjadi Ayah, Teman, sekaligus tukang Ojek kalau
mengantar ke dokter kalau ada santri yang sakit. Semua pekerjaan ini membuat
harus 24 jam di pesantren. Inilah titik perubahan itu.
Satu
kamar dengan seorang hafidz 30 Juz,
namanya Taqi, membuat saya bersemangat menghafal Al Qur’an. Beliau menjadi guru
sekaligus kawan saya. Ada juga Ustadz Dodo namanya, beliau adalah murobbi
pertama saya. Beliau guru tahfidz di Al Hikmah. Penuh senyum. Halaqoh kami bukan
di Pesantren, tapi di luar Kecamatan. Biasanya kami halaqoh malam minggu. Ba’da
Magrib ustadz Dodo dan saya berangkat dari Pesantren naik motor. Ustadz ini
ternyata pembalap juga, ngebut sampai
tujuan. Inilah yang menarik, biasanya ustadz Dodo berkeliling ke rumah
mutarobbinya untuk mengajak ngaji.
Memang halaqoh ustadz Dodo ini dihadiri
dari berbagai latar belakang, ada yang penjaga sekolah, orang pasar
sampai tukang mabok dulunya. Tapi pengajian ini hidup. Penuh ruh. Dari sini
saya banyak belajar indahnya persaudaraan. Selanjutnya pengajian atau halaqoh kami selalu pindah-pindah
tempat.
Di
SMP saya dipanggil Pak padahal umur saya masih 19 tahun. Mereka mengira saya
sudah 27 tahun, mungkin dari raut wajah saya yang demikian boros. Terlalu
banyak yang di fikirkan barangkali. Sampai suatu hari saya berinisiatif ingin
bertemu Pak Komar sekedar berkonsultasi tentang masalah-masalah santri di
asrama. Memang masalah santri ini banyak dari bolos ngaji, bolos sekolah, kabur
ke warnet dan sebagainya. Tapi diatas semua itu mereka adalah anak-anak yang
baik. Para penghafal Qur’an. Saya selalu bahagia mendengar mereka mengaji.
Adapun jika ada satu dua ulah, itu mah wajar.
“Assalamu’alaikum
Pak..”, sambil memasuki ruangan Kepala Sekolah
“wa’alaikumsalam,
Duduk Han, kebetulan ada yang ingin saya bicarakan”, jawab pak Komar serius. (lah kan saya yang mau bicara). “Sudah
berapa lama kamu disini?”, tanya Pak Komar yang tak perlu saya jawab sebab Pak
Komar juga tahu tentu. “kamu masih ingin kuliah?”, Pertanyaan ini membuat saya
lupa akan tujuan saya tadi ke Ruangan Pak Komar.
“Tentu
Pak. Impian itu masih ada!”, jawab saya tegas.
“Gini
Han, sebenarnya saya masih butuh kamu di Al Hikmah. Tapi saya kira cukuplah 1
tahun saja kamu disini. Bekal kamu sudah cukup. Kamu punya potensi dan itu
harus dikembangkan. Kamu harus kuliah dan saya yakin kamu mampu. Sekarang
cobalah lagi kamu ikut tes, saya Yakin kamu bisa.” (pake backsound AFI Junior: Aku bisa, aku pasti bisa..)
Atas
saran beliau saya ikuti Tes Tulis SNMPTN untuk kedua kalinya. Dan atas saran
beliau pula, saya memilih IPB. Tapi tentu ITB tetap di pilihan pertama. Meski
tanpa persiapan, SNMPTN saya lolos. Tapi bukan di ITB. Di Institut Pesantren
Bogor. Jadilah hari itu saya “diusir” dari pesantren Al Hikmah. Sebelum pergi
saya diberi bekal dana dari Pak Komar dan Al Hikmah yang mudah-mudahan cukup
untuk bertahan hidup beberapa bulan di Bogor. Dan berdirilah saya di sini, di
Masjid Al Hurriyyah. Disinilah saya mengecap nikmat tarbiyah. Nikmat ukhuwah.
Bertemu dengan orang-orang yang ketika pertama kali menatap wajah mereka terasa
akrab ruh ini.
Oh ya,
tentang ITB, lupakan saja. sebab di IPB saya sudah menemukan cinta saya: Al
Qur’an, Tarbiyah dan Pertanian!. (pelajaran
hidup no.4, “selalu ada hikmah di balik sesuatu”)
Komentar