“Lebih baik aku mati kau bunuh” Kata Presiden Mesir terpilih, Dr. Mursi dengan mata nanar sebelum ditangkap militer Mesir,”Dari pada aku mundur lalu disalahkan sejarah!”.
Satu lagi kita faham tabiat
sejarah. Hukum sejarah. Setelah kita mengerti bahwa sejarah sebagaimana
peradaban memiliki masa lahir, tumbuh, jaya, kemudian mati seperti yang
dikatakan Bapak Sejarah kita, Ibnu Khaldun. Akhirya, melalui tragedi merah di
Mesir saat ini kita faham akan satu lagi hukum sejarah bahwa sejarah selalu
memberikan tugas-tugasnya secara unik dan berbeda sama sekali kepada setiap
generasi. Setiap generasi diberi tugas khusus yang mesti diselesaikan dengan
baik agar generasi selanjutnya tidak lagi memikul tugas yang belum diselesaikan
generasi sebelumnya. Dari tugas itu lalu dirinci kembali kepada misi-misi yang
mesti dilaksanakan secara berbeda oleh setiap individu. Jadi sebenarnya setiap
individu dalam satu generasi memiliki misi spesifik yang jika misi itu
diselesaikan dengan baik akan sangat membantu dalam penyelesaian tugas sejarah sebuah
generasi. Namun pada kenyataannya, seringkali misi individu itu tidak disadari
oleh mayoritas individu yang lalai atau terbuai. Sehingga, Tugas sebuah
generasi biasanya dipikul oleh beberapa individu saja. Inilah yang membuatnya
terasa berat dan melelahkan.
Sejarah ibarat sebuah rumah
dimana sebuah peradaban nyaman bernaung didalamnya. Sejarah selalu dibangun atas beberapa
generasi. Jadi setiap generasi mempunyai tugas sejarah yang spesifik dan
khusus. Ada yang berperan berpayah-payah sebagai pondasi, sebagai pintu,
batu-bata, atap, dan ada yang secara khusus menyelesaikan pengecatan terakhir
sebuah rumah peradaban. Seperti yang terjadi di Mesir saat ini, meski tikungan
sejarah kali ini bukan hanya hak monopoli Ikhwanul Muslimin, tapi tidak bisa
kita elakkan bahwa Ikhwanul Muslimin memiliki saham terbesar dalam periode
sejarah dimesir saat ini. Setelah lebih dari 80 tahun sejak Syaikh Hasan Al
Banna meletakkan pondasi Ikhwan diatas reruntuhan peradaban Islam waktu itu
lalu muncul kepermukaan setelah Sayyid Qutbh di gantung. Setiap generasi itu
punya tugasnya masing-masing. Jika Hasan Al Banna bertugas meletakkan pondasi
Ikhwan, Sayyid Qutbh dan generasinya meninggikan bangunan Ikhwan, Maka tugas
Dr. Mursi dan generasinya bertugas untuk menyempurnakan bangunan tersebut
bersama Rakyat Mesir. Hingga tinggal beberapa bata lagi bangunan itu sempurna
datanglah angin dari Barat dan Militer yang meruntuhkan bagian atapnya.
Begitulah setiap generasi berbeda-beda tugasnya namun masih dalam satu tujuan
yaitu Ustadziatul a’lam, Islam menjadi Soko guru semesta. Inilah juga yang
perlu disadari kembali oleh setiap generasi.
Hari ini Mesir terluka amat parah. Entah sudah berapa Ribu
nyawa yang pergi. Entah sudah berapa
banyak air mata yang tertumpah, peluh yang terkuras. Namun itu semua adalah
sebuah tugas sejarah yang mesti kita selesaikan agar generasi selanjutnya bisa
menyempurnakannya. Mereka sadar bahwa tugas mereka saat ini bukanlah menikmati
kemenangan, tapi merintis jalan menuju kemenangan. Waktu mereka tidak cukup
untuk sampai pada kemenangan. Mereka sadar bahwa mereka adalah batu-bata yang
mesti mereka letakkan dengan baik dalam proses pembangunan rumah Peradaban. Dan
suatu saat, akan ada generasi yang harus meneyelesaikan tugasnya untuk
menikmati kemenangan. Mungkin itu yang disadari betul oleh Dr. Mursi dan rakyat
Mesir umumnya. Maka tidak aneh jika mereka amat gigih berdemonstrasi sambil
menyerahkan harta bahkan nyawa mereka. Alasan utama mereka adalah karena mereka
mengharapkan Ridho Allah juga karena Mereka tidak ingin disalahkan sejarah.
Lantas, hal yang mesti kita
renungkan dalam-dalam hari ini adalah sebenarnya apa tugas sejarah yang Allah
pikulkan kepada generasi kita? Khususnya di Indonesia. Meski kita, umat islam,
adalah satu. Darah yang tertumpah di Mesir adalah darah kita juga. Tapi kita
memiliki tugas yang berbeda untuk mencapai tujuan yang sama dengan tujuan
saudara kita di Mesir, Suriah, Palestina, Afganistan dan berbagai negeri Islam
lainnya yaitu: "Agar tidak ada lagi fitnah di muka bumi dan agama hanyalah milik
Allah!". Tugas kita terikat faktor kekinian dan kedisinian. Jika dahulu Pangeran
Diponegoro dan generasinya sibuk mengusir penjajah di seantero negeri. Lalu kemudian
Budi Utomo beserta generasinya bertugas mempersiapkan dan merintis kemerdekaan.
Generasi Soekarno dan M. Natsir bertugas menjadi Founding Father bangsa. Generasi Soeharto
bertugas membangun Indonesia yang masih baru. Sampai generasi 98: Iwan, Ida,
dan Hadi bertugas merubah sistem otoriter melalui reformasi. Lalu apa tugas
generasi kita sekarang? ada tugas besar yang mesti kita sadari sedini mungkin.
Sebab waktu kita juga terbatas, inilah yang dimaksud “mission imposible”.
Maka kita harus secepatnya
menyadari tugas sejarah yang Allah embankan pada generasi kita. Dan bukan
saatnya lagi kita bertanya kita ingin menjadi apa tapi mulailah bertanya apa
yang Allah inginkan kita menjadi dan Tugas apa yang sejarah pikulkan di pundak
kita. Setelah kita tahu secara jelas tugas sejarah kita maka segeralah berlari
menjemput takdir kita itu. Dimanapun berakhirnya. Seperti Hasan Al Banna yang
menjemput takdirnya di pelataran rumah sakit karena ditembak kehabisan darah.
Atau seperti Sayyid Qutbh di tiang gantungan. Dimanapun takdir kita itu, maka
kejarlah!
gambar dari sini
Komentar