Perempuan
pertama yang saya kenal adalah ibu saya. Ia adalah sebenar-benar perempuan di
mata semua anaknya. Bukan perempuan yang gila mode seperti iklan-iklan di
televisi. Ia perempuan kuat dan tangguh. Bahkan suatu ketika mampu berperan
sebagai ayah ketika ayah sudah menurun kesehatannya dan tak mampu lagi bekerja.
Yang paling terakhir tidur namun justru yang pertama bangun. Pantang mengeluh
dan satu lagi, penuh cinta. Ia rela mengorbankan apa saja demi anak-anaknya.
Yang paling pertama menangis saat anak-anaknya tertimpa musibah. Yang paling
terakhir menikmati saat keluarga kami mendapat hadiah.
Perempuan
kedua dan ketiga yang saya kenal adalah kedua kakak perempuan saya. Mereka mewarisi gen
petarung dari ibu. Bertarung melawan hidup lebih dari laki-laki pada umumnya.
Mereka cantik memang, lembut dan anggun tentu. Namun bukan itu yang membuat
mereka “cantik” di mata saya. Dulu saat kondisi ekonomi mulai mencekik.
Muncullah 2 pahlawan itu. Kedua kakak perempuan saya. Yang pertama rela
berhenti dari sekolah dasarnya untuk kemudian bekerja di salah satu pabrik di
Jakarta. Ia berbuat demikian demi memperbaiki kondisi ekonomi keluarga kami.
Beberapa tahun kemudian, saat saya mulai memasuki masa sekolah, kakak kedua
saya memilih keluar dari Sekolahnya karena dirasa biaya untuk sekolah kami
berdua tidak cukup. Padahal ia perempuan cerdas dan berada di sekolah favorit
di kota. Lalu kemudian ia menyusul kakak pertama saya dan bekerja juga disana.
Itu semua ia lakukan dan korbankan demi agar adik satu-satunya, saya, anak laki-laki
satu-satunya di keluarga ini bisa melanjutkan sekolah sampai
setinggi-tingginya.
Akumulasi
pengalaman-pengalaman itulah kemudian yang membentuk cara pandang saya tentang
perempuan. Bahwa perempuan Indonesia memang cantik dan anggun. Maka tidak aneh
banyak lahir lagu dari situ seperti Mojang Priyangan atau Aisyah Adinda Kita
yang dinyanyikan Bimbo. Tapi bukan itu titik utamanya, bukan itu yang
membuatnya jadi luar biasa. Sifat-sifat luhur merekalah yang jauh lebih cantik
dari fisik mereka yang membuat mereka jadi mulia. Kuat, tangguh, sabar dan
penyayang. Perempuan-perempuan kita bukanlah perempuan tipe Boneka Barbie yang cantik dan manis tapi tak
mampu berbuat apa-apa. Perempuan-perempuan kita adalah perempuan-perempuan tipe
srikandi yang jadi pahlawan disaat keadaan memaksa demikian.
Dan
sekarang MNC group malah bermaksud
mengadakan sebuah event mirip kontes burung jalak atau kontes ikan cupang atau
kontes tanaman Athurium. Dimana yang paling cantik penampakannya akan mendapat
piala satu dua dan tiga. Implikasinya, si juara harga jualnya akan naik. Tidak
beda bukan dengan kontes miss world
yang akan dihelat di negeri santun ini?
Dimana yang dinilai adalah penampakan fisik yang juaranya akan mendapat
berbagai kontrak iklan selama setahun. Dan tahun depannya ada juara baru yang
lebih cantik sedangkan juara tahun sebelumnya telah dianggap kadarluasa. Sudah
manis permen karet dibuang. (soalnya saya
ga pernah makan sepah).
Iklannya
sudah mulai ramai di televisi utamanya RCTI. Menariknya di iklan itu muncul
salah satu wakil MUI yang kita semua sudah tahu namanya, kalau belum tahu
silahkan nyalakan televisi atau search
di google. Usut punya usut, ternyata
itu adalah pendapat pribadi si wakil MUI bukan mengatasnamakan MUI. MUI sendiri
melalui ketuanya Kiai Ma’ruf Amin telah dengan sangat sangat tegas menolak
perhelatan kontes ikan cupang itu. Maaf, maksud saya kontes ratu sejagad.
Berbagai ormas islam pun telah bersuara lantang menolak kontes yang akan
dilaksanakan tanggal 8 September di Bali dan Jakarta itu.
Kontes “ikan cupang” itu kalau kata H. Rhoma
Irama, Sungguh Terlalu! Ia menginjak harkat dan martabat kaum perempuan
Indonesia. Dasar filosofinya adalah bahwa miss
world ini meletakkan perempuan sebagai objek. Maka ia boleh, mohon maaf, “dinikmati”
umum. Juga dinikmati demi kepentingan bisnis. Sedangkan filosofi perempuan
bangsa timur adalah bahwa perempuan adalah subyek. Dimana ia berperan aktif di
kehidupan dalam menyiapkan sebuah generasi. Seperti Ibu-ibu kita semua. Seperti
pejuang pejuang kita dulu: Cut Nyak Dien, Nyi Ageng Serang, Kartini sampai
Yoyoh Yusroh. Semuanya pejuang tangguh tpe srikandi bukan Barbie. Dari sini saja sudah terlihat begitu kontras ideologi. Apalagi
kalau kita telaah al Qur’an surat Al Ahzab ayat 59.
Sekali
lagi, kontes “ikan cupang” semacam ini meskipun katanya demi kepentingan budaya
dan pariwisata tapi pada dasarnya adalah kepentingan bisnis dan eksploitasi
kaum wanita. Yang tentu tidak sejalan dengan adat ketimuran kita apalagi jika
menengok agama. Maka dengan ini kami menolak dengan tegas setegas warna hitam
pada langit malam acara-acara “kontes ikan cupang” semacam ini!
Komentar