Langsung ke konten utama

Memaknai “Aku”


Biasanya jika tubuh ini penat. Mulai kehilangan gelora. Tulang-tulang serasa dipeloroti. Di jalan ini, biasanya aku berpuisi. . .
Kupinjam puisimu Bang Chairil.
“Aku”
Mataku menyala. Teringat harga diri. Ya, kita tidak boleh berlindung di ketiak institusi, atau orang lain. Harusnya kita berdiri dengan sepenuh harga diri, di atas kaki kita sendiri. “Bukanlah pemuda”,begitu kata pepatah Padang Pasir,”yang mengatakan,’ini ayahku’, tapi pemuda adalah yang mengatakan,’inilah aku’.”

“Kalau sampai waktuku
Kumau tak seorangpun merayu”
Mataku mulai merah.  Tak boleh ada hal yang memalingkan muka kita pada tujuan. Ini tentang tekad. Tentang kemauan yang sekeras karang. Meski tak henti-henti dihantam ombak. Tapi ia tak bergeming.  Sampai keping terakhir karang yang terkikis gelombang, jangan pernah lari dari tujuan. Allahu Akbar!!!
“Tidak pula kau ”
Keringat mulai muncul. Maka, siapapun yang menghalangi jalanku. Meski itu kau, akan kuterjang. Kecuali jika kita mau membangun bersama bangunan visi kita.
“Tak perlu sedu sedan itu”
Keringat membanjir. Aku tak perlu dikasihani. Tak perlulah kau menangis untukku. Aku adalah penunggang kuda, yang berkelana di gurun demi gurun.
“Aku ini binatang jalang
Dari kalangannya terbuang”
Tubuh mulai terasa panas. Ini tentang tekad pemberontak. Ya, Ingin sekali ku berontak sekat-sekat ini. Yang selalu saja menghalangi cita-cita kita.
“Biar peluru menembus kulitku
Aku tetap meradang menerjang
Luka dan bisa kubawa berlari
Berlari
Hingga hilang pedih peri”
Darah menderas. Ya, ini tak mudah. Pasti ada aral di depan sana. Yang mungkin akan mencacah telapak. Munculkan sembilu. Perih pasti. Nanar. Tapi aku tak peduli.
“Akupun semakin tidak peduli
Aku ingin hidup seribu tahun lagi.....”
Ini tentang rindu. Obsesi keabadian. Sudah lama firdaus itu jadi rindu. Maka tak sedikit lara ini berbuah manis saat membayang rindu itu. Mulai tersiksa rindi. Mulai ada yang menggenang. Di pelupuk mata.
Tumpah. Lalu berderai...
Rindu...

 26 Feb 2012, di sela-sela kertas.
Pendaki Langit

Komentar

Nurul Fatwa IPB 47 mengatakan…
Good..
teruslah berkarya, hingga untaian kata yang engkau keluarkan menjadi butiran air penyemangat dalam meuju perubah yang lebih baik.
Syubhan Triyatna mengatakan…
Jazaakalloh...
sangat berarti komennya..
Rizki Pradana mengatakan…
poem nya ang khairil anwar ya..
nice post,,teruslah bergerak,,sekecil apapun pergerakan kita berarti besar pada perubahan yang akan kita capai..

follow back dan tukeran link juga boleh nih..
salam blogger..from rizkipradana.blogspot.com
Syubhan Triyatna mengatakan…
salam bloger Rizki Pradana

Postingan populer dari blog ini

Orang-Orang Romantis

ilustrasi:fiksi.kompasiana.com Aku selalu kagum pada mereka: orang-orang romantis. Mereka selalu bekerja dengan sepenuh cinta. Dengan segenap kesadaran. Boleh jadi mereka berpeluh, tapi pantang mengeluh. Memang mereka lelah, tapi tak kenal patah. Dan sesekali mereka berhenti, untuk sekedar menyeka keringat. Untuk sekedar menutup luka. lalu dengan nanar mereka menengadah menatap langit. seketika itu mereka teringat akan tujuan mereka, Cita-cita dan mimpi-mimpi mereka. saat itulah kerinduan mereka mendayu-dayu. menyala-nyala. Tapi mereka tidak terbuai, setelah itu mereka segera menggulung kembali lengan bajunya untuk meneruskan langkah yang sempat tertunda..... Senja, 17 Januari 2012     Pendaki Langit

Surat Untukmu, Bidadariku...

Dari Syubhan Triyatna, dengan sepenuh rindu, untukmu, seseorang yang telah Allah tuliskan dalam takdirNya.... Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh... Jangan kau tanya kenapa aku tulis surat ini yang bahkan aku sendiri bingung kemana harus mengalamatkannya. Surat ini kutujukan untukmu, yang aku sendiri belum tahu namamu, Tapi Ia tahu. Aku tak tahu apakah kau juga gelisah sama sepertiku, mengarungi detik demi detik masa muda itu ternyata tak semudah melewati jalan tol. Ia lebih mirip seperti mengarungi samudera. Gelombang maksiat menghantam dari segala sisi, kapalku pun sering oleng. Kemudian aku hanya ingin mencari dermaga, aku hanya ingin berlabuh. Lepas dari gelombang maksiat yang siap karamkan kapalku. Aku hanya ingin berlabuh sebelum aku tenggelam, dan dermaga itu adalah kamu, bidadariku....

Cara Kita Membaca BBM

"Semoga saja kemampuan kita membaca realita adalah tidak lebih rendah dari kemampuan kita membaca berita atau buku cerita..." Semenjak mendengar kabar tadi malam tentang harga BBM yang jadi naik. Seperti yang diberitakan Republika (17/6), Paripurna DPR sahkan RUU APBN Perubahan Lewat Voting. Artinya BBM sudah dipastikan naik. Saya jadi tak berselera lagi -yang memang sebelumnya juga sudah tidak ada- untuk membaca slide-slide dan diktat kuliah itu. Padahal pekan ini adalah pekan ujian, yang katanya berpengaruh hidup-mati bagi mahasiswa. Diktat-diktat itu berisi teori-teori yang tidak terlalu jelas kemana muaranya. Tidak terlalu jelas bagaimana penerapannya. Hanya sebagai syarat mendapat huruf-huruf mutu itu yang katanya akan berguna saat kita mencari kerja. Ia aja deh .