Langsung ke konten utama

Mesin Waktu

Aku ingin menjelma awan. Berarak tenang perlahan diam-diam menarik air dari samudra. Dari embun pagi. Dari Pucuk daun dan ujung bunga, Tak bisa menolak sinar matahari yang memaksanya berevaporasi. Tak bisa menolak angin yang menerbangkan titik-titik air ke langit. Lalu pada saatnya, akan turunlah ia jadi hujan. Menyuburkan yang kering. Menghijaukan yang muram.
Hasan masih terpaku menatap keluar jendela. Ia beruntung, nomor kursi 24 tepat berada di samping jendela pesawat yang ditumpanginya. Sebenarnya ada layar di depan kursinya yang didalamnya ada banyak film, musik, atau game yang disediakan maskapai untuk mengusir kebosanan. Atau ia juga bisa memilih untuk tidur seperti orang sebelah bangkunya yang sejak 5 menit selepas lepas landas tadi sudah terpejam. Ia tak tertarik. Ia lebih memilih terpaku menatap keluar jendela. Membaca tanda-tanda.
Andai, suatu saat ia diberi kesempatan untuk berjumpa dengan Rasulallah. Andai, semoga ini tidak hanya andai-andai. Ia ingin bercerita tentang segala apa yang sudah dicapai manusia sepeninggalnya. Manusia kini sudah bisa terbang lebih tinggi dari burung-burung. Mampu menyelam lebih dalam dari ikan. Dan mampu melaju lebih cepat dari kuda perang. Tentu, jika ia hidup di zaman Rasul hidup, ia tak akan pernah percaya manusia bisa terbang di atas awan. Ia membayangkan, Rasulallah akan mendengarkan dengan seksama apa yang ia ceritakan dengan sesekali terseyum dan mengangguk. Indah nian lamunannya waktu itu.
“Tetapi, ya Rasul..”, Setelah tadi bercerita dengan amat bersemangat, Hasan tiba-tiba tersekat. Ia tidak tega meneruskan ceritanya. Ia tidak tega membuat Rasul sedih. Meski ia tahu mungkin Rasul juga sudah tahu. Ia tidak sampai hati untuk menceritakan lanjutan kisah manusia zamannya. Meski kemajuan teknologi begitu pesat namun manusia belumlah kering dari air mata. Darah masih tertumpah dimana-mana. Jiwa-jiwa masih kering. Hidup masih penuh ketakutan. Masih penuh kesempitan. Tentang pembantaian. Korupsi mengakar. Begal menjegal dan semua kisah bengis manusia. Manusia, jika saja mau jujur, telah kehilangan kemanusiaannya. Mereka tersesat di hutan penuh gelap di malam kelam saat gerhana bulan dibawah hujan badai dan gelegar Guntur. Sebab mereka meninggalkan lentera yang dulu diwariskan dari Rasulallah: al Qur’an.
Tetapi Hasan malu melanjutkan ceritanya…
Lamunan Hasan tadi dihapus sapa pramugari yang mengingatkannya untuk memakai sabuk pengaman, melipat meja di depannya, dan menaikkan sandaran kursi. Memang, mulai terlihat laut jawa dengan kapal-kapal pengangkut barang lalu lalang di tepi tanjung Priok. Kapal-kapal yang memuat berton-ton itu seperti perahu kertas yang kecil yang dulu sering Hasan mainkan diatas selokan di depan sekolah SDnya. Perahu kertas yang ia biarkan mengalir jauh.
Sekarang, apa kabar perahu kertas yang dulu ku larungkan? Sudahkah ia sampai di samudra?
Ia jadi teringat nasihat Kak Erik dulu saat ia melingkar bersama di selasar kanan masjid itu. Waktu itu Kak Erik bercerita tentang alasan kenapa Iblis di usir dari syurga. Sebab ia sombong, ia menolak bersujud, atas perintah Allah, kepada Adam. “Aku dicipta dari Api, sedangkan Adam dari tanah”, sanggah iblis. Manusiapun akan menjelma iblis jikalau ia bersikap sombong. Dan, kata Kak Erik waktu itu, untuk mengikis kesombongan yang ada dalam diri kita sekali-kali mesti naik ke atas gunung, terbang ke atas awan, atau berperahu ke samudra. Agar kita sadar kita hanyalah noktah kecil di semesta. Kita bukan apa-apa. Kita tak punya apa-apa.
Tiba-tiba dada Hasan sesak. Karena rindunya ia sangat pada saat-saat itu.
Sekeluarnya ia dari gate bandara Soeta ia langsung berjalan dengan tas ranselnya menuju halte pemberhentian bus Damri. Ia menunggu sambil duduk di bangku. menunggu Bus menuju Bekasi. Ia hendak bertamu dulu ke rumah kakaknya. Setelah itu ia berencana bertolak menuju Cirebon. Pasti Azka dan Thariq sudah menunggu abinya di rumah. Entah menunggu dirinya atau jangan-jangan menanti oleh-olehnya.
Ia sengaja menyempatkan ke rumah kakaknya dulu. Sebab mestinya besok hari baru bisa terbang pulang, ternyata agenda disana lebih cepat satu hari dari yang diperkirakan. Ia juga sengaja tidak sms dulu kakaknya bahwa ia akan datang. Agar sedikit memberi kejutan pikirnya.
Bus yang dinanti tak kunjung datang. Dari tadi ia membaca jurusan yang tertera di depan kaca depan bus. Ada yang ke Bandung, ke Tanggerang dan… tiba-tiba ada rasa yang aneh di dadanya ketika melihat bus damri jurusan Bogor. Entah apa yang menuntunnya, ia seperti tersihir lalu dengan begitu ringan melangkahkan kakinya ke dalam bus tujuan sebuah kota yang sudah lama tak dikunjunginya.
Ternyata rindulah yang memapahnya…
Sepanjang jalan, berkelebatlah episode-episode 20 tahun yang lalu di kepalanya bagai film series yang diputar. Kadang ia tersenyum sendiri, terkadang matanya berkaca-kaca. Degupnya makin berdebar saat bus damri sampai di gerbang Tol Jagorawi. Saat itu hujan turun, hujan yang dirindukan. Hujan itu turun seperti air banjir yang menjebol bendungan kenangan masa lalunya. Lalu kenangan itu mengalir deras.
Sesampai di Pol Damri, Hasan sholat Jama takhir Duhur dan Ashar di Masjid Alumni IPB dekat Botani Square. Hasan lalu menyebrang ke sisi sebelah jalan untuk kemudian naik angkot nomor 03 wana hijau muda jurusan baranang Siang-Bubulak. Tidak sulit mencari angkot di kota ini, konon selain digelari kota Hujan, Kota ini juga punya nama kota Angkot. Untungnya sebab kebiasaan ketika masih kuliah dulu, ia selalu membawa payung sehingga bisa meminimalisir efek basah dari hujan. Ya, payung adalah aksesoris wajib di kota ini.
Angkot 03 hanya sampai terminal Laladon. Tetapi Hasan memilih turun di pertigaan laladon. Masih seperti dulu, jalan serasa biru, dipenuhi angkot-angkot yang berderet. Juga oleh teriakan calo-calo yang mengajak naik.
“Ciampea, Ciampea, 2 lagi, 2 lagi berangkat..”
“Jasinga, Jasinga, Jasinga kang..”
“Ke Leuwiliyang kang?”
“Kampus dalam satu lagi, satu lagi…”
Hasan tanpa panjang pikir langsung naik jurusan kampus dalam. Ia duduk di kursi kayu menghadap pintu. Sebab hujan sedikit-sedikit celana dan kemejanya basah terciprat air hujan. Biasanya kalau kondisi tidak hujan, ada satu dua pengamen yang bernyanyi di angkot ini. Seperti diduga, sore itu kondisi macet.
Hasan memperhatikan sekelilingnya. Di sudut kanan kursi kuota 4 ada, sepertinya mahasiswa, yang sedari tadi sibuk jari dengan gadgetnya. Disampingnya ada 2 perempuan yang ngobrol tentang skripsinya yang tak kunjung beres, revisi tiada akhir. Sementara di depan gadis itu ada seorang perempuan berjilbab panjang biru navy sedari tadi menunduk membaca sesuatu. Ternyata ia sedang membaca dzikir sore. Hasan pun teringat ia belum baca al matsurot, di bawah hujan itulah ia melantunkan setengah berbisik dzikir sore yang dulu diajarkan kak Erik padanya. Ia ingat betul, dulu kak Erik pernah memberinya buku kecil yang bagus dibaca setiap pagi atau senja.
“sesibuk apapun, jangan lupa baca quran, San. Dzikir pagi sore juga jangan ditinggal. Nanti pekan depan kita cek, kita mutabaah…”, kata Kak Erik waktu itu di lingkaran.
Hujan mulai reda. Jalan babakan Raya atau disigkat Bara makin ramai saja dan implikasinya makin macet. Hasan turun dibelokan depan gerbang kecil berlin. Pintu masuk kampus yang hanya bisa dilewati orang. Jika memaksa sepeda bisa masuk juga. Entah kenapa disebut berlin. Mungkin mirip seperti tembok berlin yang pisahkan Jerman Barat dan Jerman Timur dulu. Gerbang ini juga barangkali yang memisahkan kehidupan kampus dan kehidupan masyarakat sekitarnya. Seolah-olah mahasiswa punya hidupnya sendiri dan masyarakatpun demikian. Hasan ingat, dulu betapa inginnya ia runtuhkan tembok ini.
Hasan memilih jalan yang biasa dilaluinya dulu. Bukan ke kanan menuju Gymnasium, asrama putrid dan CCR. Bukan pula ke kiri, Graha Widya Wisuda. Ia memilih lurus ke tanggut atau tangga utama Fakultas Pertanian, bergerak lurus ke Koridor Tanah. Meski namanya koridor tanah, lantainya tetap keramik. Tanah maksudnya prodi ilmu tanah. Disitu ia lihat ada sedikitnya 4 lingkaran. Mereka mungkin sedang rapat membahas acara terdekat. Atau barangkali sekedar gatering mempererat perkawanan. Ia melihat dirinya sendiri di situ, menyandar pada tiang sambil berharap-harap cemas menunggu panitia lain yang belum datang untuk rapat. Terus berjalan perlahan menuju Fakultas Kehutanan, ia sangat senang berjalan lewat jalan ini apalagi melewati Arboretum, hutan kecil di tengah kampus. Lalu ia terus lurus melewati lorong depan laboratorium silvikultur. Belok kanan menuju SMA Kornita. Ia, tersenyum. Dulu setiap pagi selasa, kamis, dan jumat ia mengajar BTQ atau baca tulis Quran di sekolah itu. Meski hanya satu jam pelajaran. Tentu setelah bacaan Qurannya baik. Ketika masuk pertama kali kampus ini, baca Quran baginya seperti mengeja sandi rahasia negara.
Disitu ia lihat ada 4 orang yang sedang latihan bermain skateboard. Asyik melompat melewati rintang bersama skatenya. Hasan sejenak menikmati pertunjukan itu. Ia terus berjalan perlahan melewati asrama internasional lalu poliklinik. Disitu kemudian detak jantungnya mulai berdebar kencang. Ia mulai melihat menara masjid itu. Dulu waktu tingkat satu sempat ia memanjatnya. Turun melalui jalan setapak. Asrama Masjid itu semakin bagus saja. Dengan dindingnya yang kini marmer. Pohon beringin depan aula masih ada. Menjatuhkan daun-daun yang diam-diam menyambut Hasan pulang. Pun Burung yang berkicau seolah berkata selamat datang kembali. Masjid itu masih seperti dulu. Menjadi tempat terbaik di kampus ini.
Masih seperti dulu, murottal Syaikh Misyari Rasyid mengema 10 menit sebelum adzan magrib. Imam Shalat Magrib kini bukan lagi ustadz yang dulu menjadi kepala DKM. Ia ingat yang imam ini adalah anaknya. Rakaat pertama dibacakan surat Ali Imran ayat 190-195. Rakaat kedua surat al Ikhlas. Pasca shalat sunah ia mencoba mengingat kembali kisah setiap jengkal masjid itu. Di bagian tengah ruang utama ada beberapa orang yang sedang melingkar pula. Sebelah kiri terdengar talaqqi Quran surat An Naziat. “Ghunnahnya harus jelas akh, Wannaa Ziaati Ghorqoo..” begitu salah satu dari mereka mengajarkan. Ada juga yang sedang membuka laptop di bagian belakang. Masjid ini memang full Wi Fi. Ia mungkin sedang mengerjakan soal. Lalu Hasan menengok ke sebelah kanan disitu ada yang sedang melingkar. Tengah bergantian membaca dan menyimak al Quran. Ia melihat dirinya sendiri disitu. Mengingat detik detik yang ia selalu rindukan. Setiap pekan malam minggu di selasar kanan masjid Al Hurriyyah.
Seketika ia seperti terhisap mesin waktu, kembali ke masa-masa itu….
Bersambung...




sumber gambar:
http://i.kinja-img.com/gawker-media/image/upload/s--hYPcme5n--/18kzki3ibdwyujpg.jpg

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Industrialisasi Tarbiyah

Awalnya saya hampir frustasi melihat kondisi proses tarbawi di kampus dewasa ini. Halaqoh yang mulai kering. Agenda mabit, tastqif, dauroh yang mulai sepi peserta. Saya punya keyakinan bahwa ini bukan karena ketidakpedulian kader pada agenda tarbawi. Tetapi karena kader tidak mampu untuk mengelola tekanan dari kampus khususnya. Tekanan atmosfer akademik beberapa tahun terakhir semakin tinggi. Sehingga waktu untuk agenda pendukung t arbawi kehilangan alokasinya yang cukup. Efektivitas-Efisiensi Apa yang menyebabkan daging ikan patin dari sungai Mekong Vietnam lebih murah dari Patin Jambal Indonesia? Jawabannya adalah karena Efektivitas-Efisiensi industri patin di vietnam lebih tinggi. Semua rantai produksi dipadatkan di sungai mekong. Dari pabrik pakan, keramba budidaya, sampai pabrik olahan patin semua di satu lokasi tepi sungai mekong. Sehingga biaya produksi bisa ditekan dan produktifitas naik. Hal ini juga yang bisa menjawab kenapa industri rumahan kalah bersaing dengan

Buat Ananda

Dakilah gunung tinggi manapun yang ananda damba: Mahameru, Kalimanjaro, atau Himalaya. Sampai suatu saat, ananda kan temukan puncak tertinggi itu justru saat kening ananda menyentuh tanah tempat kaki ananda berpijak, meski itu tempat paling rendah di muka bumi...

Satu Malam Lebih Dekat (Dengan Al-Qur'an)

ilustrasi:kamifa.gamais.itb.ac.id Ust. Dedi Mulyono, tadi malam sampai berapi-api di Ruang Abu Bakar menyampaikan tentang Ruhiyah. Mari saya ceritakan. Tema mabit tadi malam adalah "Satu Malam Lebih Dekat (Dengan Al-Qur'an)". Diawali dengan tilawah keroyokan hingga pukul 9.00. Awalnya Ust. Dedi memulai kalem, lalu kami dikagetkan dengan pancaran energinya yang ia Obral ke setiap ya ng hadir. Ia awali dengan surah Al Hasyr ayat 19,"Dan janganlah kamu seperti orang-orang yang lupa kepada Allah. sehingga Allah membuat mereka lupa terhadap diri sendiri. Merekalah Orang-orang fasik." Inilah urgensi Ruhiah. Jika kita lupa kepada Allah dengan meninggalkan amalan-amalan ruhiyah, hakikatnya kita lupa pada diri sendiri. Melupakan Allah adalah melupakan diri, begitu singkatnya. Karena syaitan selalu ada dalam hati setiap insan, jika ada yang ingat Allah maka si syaitan sembunyi ketakutan. sepertinya pikiran kita tak pernah kosong, jika kita tidak ingat Allah, m