Langsung ke konten utama

Akulah Si telaga


"akulah si telaga: berlayarlah di atasnya;
berlayarlah menyibakkan riak-riak kecil yang menggerakkan
bunga-bunga padma;

berlayarlah sambil memandang harumnya cahaya;
sesampai di seberang sana, tinggalkan begitu saja
— perahumu biar aku yang menjaganya"
Saya tidak tahu pasti, apa yang melatari Prof. Sapardi menulis sajak itu. Tetapi membacanya, mengingatkan saya pada seseorang yang kadang luput saya terimakasihi: Murobbi. Tentang ketulusan dan kesederhanaannya.
Sudah kita fahami semua bahwa pembinaan mesti diprioritaskan dari gerakan reformasi. Takwim sebelum tanfidz. Tarbiyah sebelum jihad. Sebagaimana seorang kontraktor mesti membangun pondasi dan menyiapkan bahan termasuk batu bata-batu bata terbaik sebelum meninggikan bangunan. Semakin tinggi bangunan yang dirancang dalam maket, maka pondasi yang diperlukan dan bahan yang dibutuhkan mesti lebih dalam dan banyak. Dan tarbiyah adalah pondasinya.
At Tarbiyatu Fannu shina'atil insan. Tarbiyah adalah seni mencetak manusia. Seni mencetak batu bata yang nantinya akan digunakan untuk membangun menara islam.
Salah satu komponen terpenting dalam tarbiyyah adalah murobbi. Menjadi murobbi adalah menjadi telaga. Melayarkan perahu-perahu diatasnya. Mengantarkannya ke seberang. Dari kegelapan jahiliyah kepada cahaya islam.
"Sesampainya diseberang sana, tinggalkan begitu saja. Perahumu biar aku yang menjaganya."
Maka hal pertama yang mesti ada pada seorang murobbi adalah keikhlasan. Kata inilah yang merangkum ketulusan, cinta, kesabaran dan pengorbanan. Terus membina tanpa berharap imbalan cash di dunia. Begitulah setidaknya yang saya pelajari dari gorengan Yang murobbi saya bawa saat liqo. Dari waktunya yang mungkin habis mendengarkan curhatan konyol binaannya.
Inna al-akh ash-shadiq laa budda al-yakuuna murabbiyan. Sesungguhnya akh yang benar tidak diragui Lagi mesti menjadi seorang murobbi. Begitu kata Dr. Abdullah Qadiri Al Ahdal. Menjadi murobbi hanya butuh keihlasan: ikhlas belajar, ikhlas berproses, ikhlas membina. Memang itu tidak mudah. Tetapi itulah maharnya.
Sekarang tiba giliran kita untuk menjadi telaga. Mari menjadi murobbi. Mari menjadi telaga. Mengantarkan perahu-perahu ke seberang. Ke kampung cahaya.
"akulah si telaga: berlayarlah diatasnya; berlayarlah menyibakkan riak-riak kecil yang menggerakkan bunga-bunga padma... "



Sumber gambar:

http://blog.reservasi.com/wp-content/uploads/2017/04/telagacisoka.jpg

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Orang-Orang Romantis

ilustrasi:fiksi.kompasiana.com Aku selalu kagum pada mereka: orang-orang romantis. Mereka selalu bekerja dengan sepenuh cinta. Dengan segenap kesadaran. Boleh jadi mereka berpeluh, tapi pantang mengeluh. Memang mereka lelah, tapi tak kenal patah. Dan sesekali mereka berhenti, untuk sekedar menyeka keringat. Untuk sekedar menutup luka. lalu dengan nanar mereka menengadah menatap langit. seketika itu mereka teringat akan tujuan mereka, Cita-cita dan mimpi-mimpi mereka. saat itulah kerinduan mereka mendayu-dayu. menyala-nyala. Tapi mereka tidak terbuai, setelah itu mereka segera menggulung kembali lengan bajunya untuk meneruskan langkah yang sempat tertunda..... Senja, 17 Januari 2012     Pendaki Langit

Surat Untukmu, Bidadariku...

Dari Syubhan Triyatna, dengan sepenuh rindu, untukmu, seseorang yang telah Allah tuliskan dalam takdirNya.... Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh... Jangan kau tanya kenapa aku tulis surat ini yang bahkan aku sendiri bingung kemana harus mengalamatkannya. Surat ini kutujukan untukmu, yang aku sendiri belum tahu namamu, Tapi Ia tahu. Aku tak tahu apakah kau juga gelisah sama sepertiku, mengarungi detik demi detik masa muda itu ternyata tak semudah melewati jalan tol. Ia lebih mirip seperti mengarungi samudera. Gelombang maksiat menghantam dari segala sisi, kapalku pun sering oleng. Kemudian aku hanya ingin mencari dermaga, aku hanya ingin berlabuh. Lepas dari gelombang maksiat yang siap karamkan kapalku. Aku hanya ingin berlabuh sebelum aku tenggelam, dan dermaga itu adalah kamu, bidadariku....

Cara Kita Membaca BBM

"Semoga saja kemampuan kita membaca realita adalah tidak lebih rendah dari kemampuan kita membaca berita atau buku cerita..." Semenjak mendengar kabar tadi malam tentang harga BBM yang jadi naik. Seperti yang diberitakan Republika (17/6), Paripurna DPR sahkan RUU APBN Perubahan Lewat Voting. Artinya BBM sudah dipastikan naik. Saya jadi tak berselera lagi -yang memang sebelumnya juga sudah tidak ada- untuk membaca slide-slide dan diktat kuliah itu. Padahal pekan ini adalah pekan ujian, yang katanya berpengaruh hidup-mati bagi mahasiswa. Diktat-diktat itu berisi teori-teori yang tidak terlalu jelas kemana muaranya. Tidak terlalu jelas bagaimana penerapannya. Hanya sebagai syarat mendapat huruf-huruf mutu itu yang katanya akan berguna saat kita mencari kerja. Ia aja deh .